Mau belajar bisnis online??Klik aja link di bawah ini!!

Jumat, 21 Januari 2011

Dana Satu Persen, Berkah atau Bencana?


Alokasi Dana Itu Tidak dalam Bentuk Uang Tunai

Dana kompensasi sebesar 1 persen yang dikucurkan PT. Freeport Indonesia ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi, dinilai amat bermanfaat bagi pengembangan masyarakat adat yang terkena dampak penambangan. Di sisi lain, justru melahirkan konflik baru di masyarakat.
Oleh SUBHAN SD
---------------


K
ami tidak pernah merasakan (kompensasi) 1 persen. Jadi, jangan tanyakan soal itu kepada kami. Demikian kata tokoh hak asasi manusia (HAM) yang orang Amungme, Mama Yosepha Alomang.
Bukan hanya Mama Yosepha, warga liannya juga mengaku tidak merasakan dana tersebut. “Saya belum pernah mendapatkan dana itu. (Dana) itu cuma diatur oleh orang-orang yang sekolah, mereka nikmati sendiri,” kata Doni Magai, pendulang di Banti, Tembagapura.
Keberadaan dana 1 persen sepeeti melihat bayang-bayang semu, antara fakta dan ilusi. Masih banyak warga yang bertanya-tanya, adakah dana 1 persen itu? Pertanyaan itu masuk akal. Sebab, bukan hanya sebagian orang mengaku tidak mendapatkan dana itu, tetapi juga melihat masyarakat di Kabupaten Mimika yang masih terbelenggu kemiskinan. Sangat kontras dengan hasil kekayaan alam yang digali perut bumi di areal pertambangan.
Dua tahun lalu, angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali lipat kemiskinan tingkat nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu, penduduk miskinnya mencapai 32,75 persen. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalami kenaikan sepanjang tahun.
Sektor pendidikan yang semestinya menjadi sektor paling dasar,  ternyata hanya membuat hati terenyuh. Di pedalaman-pedalaman, sekolah-sekolah nyaris tak memiliki guru. Sistem pendidikan hancur. Akibatnya, sekolah sering diliburkan.
Jangan lagi bicara kualitas anak didik. Hampir bisa dipastikan banyak anak didik lulusan sekolah dasar (SD), misalnya, tidak tahu baca dan tulis. Dalam lapangan kerja saja, mayoritas adalah lulusan SD. Dengan mutu seperti itu, bukan mustahil tenaga kerja masyarakat asli semakin tak mampu berkompetisi. Apalagi menghadapi kaum pendatang, mereka tergusur di rumahnya sendiri.
Barangkali tidak sedikit yang percaya realitas itu ditemukan di kabupaten seluas 20.040 kilometer persegi yang notabene terdapat perusahaan tambang raksasa. Di perut bumi Mimika pula, kandungan emas dan logam lainnya dikeruk setiap hari oleh Freeport.
Sumber daya alam yang melimpah itu seharusnya memberikan kontribusi yang pantas bagi masyarakat sekitar. Namun apa lacur, realitas terbalik justru yang dijumpai. “Mereka (PT. FI) menggali gunung emas kami, tetapi kami tetap hidup seperti ini,” kata Mama Yosepha Alomang.

Sejak 1996
Dana kompensasi 1 persen berawal ketika pemerintah pusat, Pemerintah Irian jaya, dan PT. Freeport Indonesia (FI) merancang sebuah pola pembangunan masyarakat untuk mempercepat proses pembangunan di Mimika. PT. FI berkomitmen untuk mengalokasikan dana sebesar 1 persen dari pendapatan kotor tahunan selama 10 tahun guna mendukung program tersebut.
PT. FI yang beroperasi sejak tahun 1967 mulai mengucurkan dana tersebut pada tahun 1996. dana itu ditangani tim Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2). Masyarakat sendiri mendirikan Yayasan Tujuh Suku (terdiri Amungme, Kamoro, Moni, lani, Damal, Mee/Ekari, Nduga). Tiap suku mengelola sendiri-sendiri.
Kala itu ada pembagian antara PT. FI dan pihak yayasan. Yayasan diberi kewenangan untuk mengelola program ekonomi dan pembangunan fisik prasarana dengan proyek utama perumahan rakyat, sementara sektor pendidikan dan kesehatan ditangani PT. FI. Nyatanya, uang menjungkirbalikkan kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat. Kebersamaan yang menjadi perilaku dasar pun mulai tergerogoti setelah mengenal uang.
“Waktu itu orang tujuh suku baru mengenal uang. Mereka menggunakan uang semaunya. Sebagian besar dana tidak sampai ke masyarakat. Proyek perumahan rakyat hanya menguntungkan segelintir orang. Karena ada proyek, mereka mark up harga. Ketika itu terjadi korupsi besar-besaran oleh masyarakat (pengurus),” kata John Nakiaya, Sekretaris Eksekutif Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan kamoro (LPMAK), lembaga yang kini mengelola kompensasi dana 1 persen itu.
Manajemen yang amburadul itu membuat PT. FI tidak tinggal diam. Apalagi setelah diaudit, tak satupun dana bisa dipertanggungjawabkan. Yayasan Tujuh Suku pun dibubarkan, dan sebagai gantinya dibentuk LPM Irja tahun 1998.
Semua sektor pembangunan diserahkan ke lembaga baru itu. Namun, apa yang terjadi sebelumnya justru terulang lagi. Banyak dana yang dikeluarkan, tetapi tidak ada bukti-bukti pengeluaran.
Lembaga itu pun dibekukan setelah dua tahun beroperasi. Selama dua tahun, dari 2000 hingga 2002, pengelolaan dana itu ditangani oleh sebuah care taker yang dipegang oleh John Nakiaya. Namun barangkali karena pengalaman buruk itu, hanya program pendidikan dan kesehatan yang didanai, program-program lain dibekukan.
Di bawah LPMAK yang dibentuk tahun 2002, manajemen mulai ditata. Bercermin pada kasus-kasus pengelolaan keuangan yang amburadul, LPMAK menjalankan sistem birokrasi yang sangat ketat. Guna menghindari terjadi kebocoran, dana 1 persen itu tidak dipegang LPMAK.
“Kami tidak pernah memegang dana itu. Dana itu tetap dipegang oleh PT. FI. Kami mengajukan pendanaan berdasarkan proyek-proyek yang diperuntukkan bagi masyarakat. Nanti Freeport yang mengucurkan langsung kepada mereka,” kata John Nakiaya.
Sepanjang sepuluh tahun ini (1996-2005), dana  1 persen yang sudah dikucurkan PT. FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591 (190.847.906 dollar AS). Jika tahun 1996, dana 1 persen itu sejumlah Rp. 25 miliar, maka pada tahun 2005 jumlahnya Rp. 393 miliar. Sebagian besar dana itu digunakan untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
 Sebagai contoh, tahun 2005 dana pendidikan sebesar Rp. 63,32 miliar (24 persen) dan dana kesehatan sebesar Rp. 70,61 miliar (27 persen). Sektor lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu antara lain pengembangan ekonomi dan pengembangan desa, dukungan adat, dukungan agama, serta manajemen dan kapital dengan jumlah yang variatif.



Menurut John, alokasi dana itu tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa fasilitas publik, antara lain Rumah Sakit (RS) Mitra Masyarakat, RS Waa-Banti, puskesmas pembantu di Aroanop dan Tsinga. Sarana itu diberikian gratis bagi warga tujuh suku itu.
Di bidang pendidikan, selain pembangunan infrastruktur, pengelolaan asrama, dukungan transportasi dan bahan makanan bagi guru di daerah terpencil, dana 1 persen itu juga disalurkan sebagai beasiswa bagi 5.464 pelajar atau mahasiswa tujuh suku itu yang tersebar di berbagai kota.
“Jadi memang dalam bentuk fasilitas publik, tidak ada dalam bentuk uang kecuali beasiswa atau modal usaha. Tetapi itulah, kadang uang beasiswa dipakai untuk minim-minum atau atau foya-foya,” kata John.
Diakuinya, bukan sekali terjadi, warga mendemo Kantor LPMAK yang menanyakan soal dana 1 persen itu. “Mereka menuduh kami telah memakan uang itu. Lalu saya balik tanya, apakah kamu pergi berobat ke rumah sakit itu bayar? Apakah anak-anakmu yang sekolah itu bayar? Kan tidak, nah itu didanai oleh yang 1 persen itu,” katanya.


Saling Berebut
Namun suka atau tidak, dana 1 persen itu terlanjur menimbulkan persoalan sekaligus konflik baru di masyarakat. Ada yang menikmati, tetapi ada yang merasa tidak pernah menerima.
Menurut Mama Yosepha Alomang, dana itu justru menjadikan orang Papua berhadap-hadapan, rebutan, saling bertengkar.
Dalam kasus pemblokiran Mil 72-74 sebagai buntut penertiban terhadap pendulang emas di sungai tailing, masyarakat yang berunjuk rasa menuntut kenaikan dana kompensasi dan kontribusi lainnya dari PT. FI.
Akan tetapi, masyarakat yang memblokir pos pemeriksaan (checkpoint) di Mil 28 menuntut agar ada renegoisasi kontrak karya dengan PT. FI. Ada yang minta PT. FI ditutup, tetapi ada pula yang menolak penutupan itu.
Persoalan dana 1 persen ternyata memberikan sebuah realitas bahwa masyarakat adat yang tadinya hidup dalam kearifan alam, dipaksa mengenal sebuah kehidupan lain.
Dana itu telah meninabobokan masyarakat yang justru menjadi terbiasa menengadahkan tangan. Sangat tidak manusiawi bila tetap membiarkan mereka menjadi bangsa peminta-peminta yang selalu saling curiga sesama mereka.
Kondisi itu sudah dalam tingkat kronis. Perlu dicari solusi baru agar dana tersebut lebih menyentuh masyarakat secara masif.
Pola alokasi dana ke titik tertentu mungkin perlu dikembangkan ke kelompok-kelompok yang lebih kecil, mengingat suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan itu hidup dalam kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah terisolasi.

Dari kejadian tersebut diatas, buatlah :
1.Apa sebab jumlah kemiskinan semakin bertambah dari tahun-ketahun ? (Kelompok 1)
2.Bagaimana peranan program yang sudah ada dan keberdayaan lembaga yang mengelola dana program? (Kelompok 2)
3.Apa solusi strategi pemberdayaan yang diperlukan? (kelompok 3)
* Materi Pelatihan CSR oleh Corporate Forum for Community Development