Alokasi
Dana Itu Tidak dalam Bentuk Uang Tunai
Dana
kompensasi sebesar 1 persen yang dikucurkan PT. Freeport Indonesia ibarat pisau bermata
ganda. Di satu sisi, dinilai amat bermanfaat bagi pengembangan masyarakat adat
yang terkena dampak penambangan. Di sisi lain, justru melahirkan konflik baru
di masyarakat.
Oleh
SUBHAN SD
---------------
K
|
ami tidak pernah merasakan (kompensasi) 1
persen. Jadi, jangan tanyakan soal itu kepada kami. Demikian kata tokoh hak
asasi manusia (HAM) yang orang Amungme, Mama Yosepha Alomang.
Bukan hanya Mama
Yosepha, warga liannya juga mengaku tidak merasakan dana tersebut. “Saya belum
pernah mendapatkan dana itu. (Dana) itu cuma diatur oleh orang-orang yang
sekolah, mereka nikmati sendiri,” kata Doni Magai, pendulang di Banti,
Tembagapura.
Keberadaan dana 1
persen sepeeti melihat bayang-bayang semu, antara fakta dan ilusi. Masih banyak
warga yang bertanya-tanya, adakah dana 1 persen itu? Pertanyaan itu masuk akal.
Sebab, bukan hanya sebagian orang mengaku tidak mendapatkan dana itu, tetapi
juga melihat masyarakat di Kabupaten Mimika yang masih terbelenggu kemiskinan.
Sangat kontras dengan hasil kekayaan alam yang digali perut bumi di areal
pertambangan.
Dua tahun lalu,
angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali lipat kemiskinan tingkat
nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu, penduduk
miskinnya mencapai 32,75 persen. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalami
kenaikan sepanjang tahun.
Sektor pendidikan
yang semestinya menjadi sektor paling dasar,
ternyata hanya membuat hati terenyuh. Di pedalaman-pedalaman,
sekolah-sekolah nyaris tak memiliki guru. Sistem pendidikan hancur. Akibatnya,
sekolah sering diliburkan.
Jangan lagi bicara
kualitas anak didik. Hampir bisa dipastikan banyak anak didik lulusan sekolah
dasar (SD), misalnya, tidak tahu baca dan tulis. Dalam lapangan kerja saja,
mayoritas adalah lulusan SD. Dengan mutu seperti itu, bukan mustahil tenaga
kerja masyarakat asli semakin tak mampu berkompetisi. Apalagi menghadapi kaum
pendatang, mereka tergusur di rumahnya sendiri.
Barangkali tidak
sedikit yang percaya realitas itu ditemukan di kabupaten seluas 20.040
kilometer persegi yang notabene terdapat perusahaan tambang raksasa. Di perut
bumi Mimika pula, kandungan emas dan logam lainnya dikeruk setiap hari oleh Freeport.
Sumber daya alam
yang melimpah itu seharusnya memberikan kontribusi yang pantas bagi masyarakat
sekitar. Namun apa lacur, realitas terbalik justru yang dijumpai. “Mereka (PT.
FI) menggali gunung emas kami, tetapi kami tetap hidup seperti ini,” kata Mama
Yosepha Alomang.
Sejak
1996
Dana kompensasi 1
persen berawal ketika pemerintah pusat, Pemerintah Irian jaya, dan PT. Freeport
Indonesia (FI) merancang sebuah pola pembangunan masyarakat untuk mempercepat
proses pembangunan di Mimika. PT. FI berkomitmen untuk mengalokasikan dana
sebesar 1 persen dari pendapatan kotor tahunan selama 10 tahun guna mendukung
program tersebut.
PT. FI yang
beroperasi sejak tahun 1967 mulai mengucurkan dana tersebut pada tahun 1996.
dana itu ditangani tim Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2). Masyarakat
sendiri mendirikan Yayasan Tujuh Suku (terdiri Amungme, Kamoro, Moni, lani,
Damal, Mee/Ekari, Nduga). Tiap suku mengelola sendiri-sendiri.
Kala itu ada
pembagian antara PT. FI dan pihak yayasan. Yayasan diberi kewenangan untuk
mengelola program ekonomi dan pembangunan fisik prasarana dengan proyek utama
perumahan rakyat, sementara sektor pendidikan dan kesehatan ditangani PT. FI.
Nyatanya, uang menjungkirbalikkan kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh
oleh masyarakat. Kebersamaan yang menjadi perilaku dasar pun mulai tergerogoti
setelah mengenal uang.
“Waktu itu orang
tujuh suku baru mengenal uang. Mereka menggunakan uang semaunya. Sebagian besar
dana tidak sampai ke masyarakat. Proyek perumahan rakyat hanya menguntungkan
segelintir orang. Karena ada proyek, mereka mark
up harga. Ketika itu terjadi korupsi besar-besaran oleh masyarakat
(pengurus),” kata John Nakiaya, Sekretaris Eksekutif Lembaga Pengembangan
Masyarakat Amungme dan kamoro (LPMAK), lembaga yang kini mengelola kompensasi
dana 1 persen itu.
Manajemen yang
amburadul itu membuat PT. FI tidak tinggal diam. Apalagi setelah diaudit, tak
satupun dana bisa dipertanggungjawabkan. Yayasan Tujuh Suku pun dibubarkan, dan
sebagai gantinya dibentuk LPM Irja tahun 1998.
Semua sektor
pembangunan diserahkan ke lembaga baru itu. Namun, apa yang terjadi sebelumnya
justru terulang lagi. Banyak dana yang dikeluarkan, tetapi tidak ada
bukti-bukti pengeluaran.
Lembaga itu pun
dibekukan setelah dua tahun beroperasi. Selama dua tahun, dari 2000 hingga
2002, pengelolaan dana itu ditangani oleh sebuah care taker yang dipegang oleh John Nakiaya. Namun barangkali karena
pengalaman buruk itu, hanya program pendidikan dan kesehatan yang didanai,
program-program lain dibekukan.
Di bawah LPMAK yang
dibentuk tahun 2002, manajemen mulai ditata. Bercermin pada kasus-kasus
pengelolaan keuangan yang amburadul, LPMAK menjalankan sistem birokrasi yang
sangat ketat. Guna menghindari terjadi kebocoran, dana 1 persen itu tidak
dipegang LPMAK.
“Kami tidak pernah
memegang dana itu. Dana itu tetap dipegang oleh PT. FI. Kami mengajukan
pendanaan berdasarkan proyek-proyek yang diperuntukkan bagi masyarakat. Nanti
Freeport yang mengucurkan langsung kepada mereka,” kata John Nakiaya.
Sepanjang sepuluh
tahun ini (1996-2005), dana 1 persen
yang sudah dikucurkan PT. FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591 (190.847.906 dollar
AS). Jika tahun 1996, dana 1 persen itu sejumlah Rp. 25 miliar, maka pada tahun
2005 jumlahnya Rp. 393 miliar. Sebagian besar dana itu digunakan untuk sektor
pendidikan dan kesehatan.
Sebagai contoh, tahun 2005 dana pendidikan
sebesar Rp. 63,32 miliar (24 persen) dan dana kesehatan sebesar Rp. 70,61
miliar (27 persen). Sektor lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu
antara lain pengembangan ekonomi dan pengembangan desa, dukungan adat, dukungan
agama, serta manajemen dan kapital dengan jumlah yang variatif.
Menurut John,
alokasi dana itu tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa fasilitas publik,
antara lain Rumah Sakit (RS) Mitra Masyarakat, RS Waa-Banti, puskesmas pembantu
di Aroanop dan Tsinga. Sarana itu diberikian gratis bagi warga tujuh suku itu.
Di bidang
pendidikan, selain pembangunan infrastruktur, pengelolaan asrama, dukungan
transportasi dan bahan makanan bagi guru di daerah terpencil, dana 1 persen itu
juga disalurkan sebagai beasiswa bagi 5.464 pelajar atau mahasiswa tujuh suku
itu yang tersebar di berbagai kota.
“Jadi memang dalam
bentuk fasilitas publik, tidak ada dalam bentuk uang kecuali beasiswa atau
modal usaha. Tetapi itulah, kadang uang beasiswa dipakai untuk minim-minum atau
atau foya-foya,” kata John.
Diakuinya, bukan
sekali terjadi, warga mendemo Kantor LPMAK yang menanyakan soal dana 1 persen
itu. “Mereka menuduh kami telah memakan uang itu. Lalu saya balik tanya, apakah
kamu pergi berobat ke rumah sakit itu bayar? Apakah anak-anakmu yang sekolah
itu bayar? Kan
tidak, nah itu didanai oleh yang 1 persen itu,” katanya.
Saling
Berebut
Namun suka atau
tidak, dana 1 persen itu terlanjur menimbulkan persoalan sekaligus konflik baru
di masyarakat. Ada
yang menikmati, tetapi ada yang merasa tidak pernah menerima.
Menurut Mama Yosepha
Alomang, dana itu justru menjadikan orang Papua berhadap-hadapan, rebutan,
saling bertengkar.
Dalam kasus
pemblokiran Mil 72-74 sebagai buntut penertiban terhadap pendulang emas di
sungai tailing, masyarakat yang berunjuk rasa menuntut kenaikan dana kompensasi
dan kontribusi lainnya dari PT. FI.
Akan tetapi,
masyarakat yang memblokir pos pemeriksaan (checkpoint)
di Mil 28 menuntut agar ada renegoisasi kontrak karya dengan PT. FI. Ada yang minta PT. FI
ditutup, tetapi ada pula yang menolak penutupan itu.
Persoalan dana 1
persen ternyata memberikan sebuah realitas bahwa masyarakat adat yang tadinya
hidup dalam kearifan alam, dipaksa mengenal sebuah kehidupan lain.
Dana itu telah
meninabobokan masyarakat yang justru menjadi terbiasa menengadahkan tangan.
Sangat tidak manusiawi bila tetap membiarkan mereka menjadi bangsa
peminta-peminta yang selalu saling curiga sesama mereka.
Kondisi itu sudah
dalam tingkat kronis. Perlu dicari solusi baru agar dana tersebut lebih
menyentuh masyarakat secara masif.
Pola alokasi dana ke
titik tertentu mungkin perlu dikembangkan ke kelompok-kelompok yang lebih kecil,
mengingat suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan itu hidup dalam
kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah terisolasi.
Dari kejadian
tersebut diatas, buatlah :
1.Apa sebab
jumlah kemiskinan semakin bertambah dari tahun-ketahun ? (Kelompok 1)
2.Bagaimana
peranan program yang sudah ada dan keberdayaan lembaga yang mengelola dana
program? (Kelompok 2)
3.Apa solusi
strategi pemberdayaan yang diperlukan? (kelompok 3)
* Materi Pelatihan CSR oleh Corporate Forum for Community Development