Mau belajar bisnis online??Klik aja link di bawah ini!!

Jumat, 21 Januari 2011

Pengertian Dasar Pemberdayaan Masyarakat


A.      Persoalan Dengan Jargon-jargon

Pemberdayaan, setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru dan bergulirnya proses reformasi telah menjadi satu istilah yang semakin sering diucapkan orang.  Satu kata yang sebelumnya hanya digunakan di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), belakangan ini semakin banyak diucapkan oleh kalangan aparat pemerintahan dan bahkan oleh masyarakat awam.  Tidak jelas apakah istilah ini diucapkan dengan pemahaman cukup atau sekedar karena ‘latah’.  Pemberdayaan yang semula ‘kata yang haram diucapkan oleh aparatur pemerintah dan dituliskan dalam dokumen resmi negara’, kini semakin umum ditemukan di berbagai dokumen resmi pemerintah.  Di dalam Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 istilah ini mulai ditemukan dan lebih banyak lagi di dalam Ketetapan MPR RI hasil SU MPR Tahun 1999.  Jika benar bahwa istilah ini ditulis dan diucapkan tanpa pemahaman akan makna yang sesungguhnya, maka jadilah pemberdayaan sekedar ‘jargon’.  Diucapkan beratus kali sehari tanpa arti dan bahkan tanpa maksud.


Begitu banyak organisasi dan proyek-proyek pembangunan yang mengaku telah melakukan upaya pemberdayaan.  Sekalipun demikian, jika kemudian dipelajari konsep, strategi dan apalagi kegiatan yang nyata dilaksanakan, ternyata justru akan ditemukan betapa pemahaman tentang pemberdayaan sangat tidak memadai.  Jargon-jargon seperti pada Box-1 sering dirtemukan di dalam dokumen resmi berbagai proyek.  Dengan kata lain, istilah pemberdayaan telah menjadi begitu latah diucapkan dan dituliskan orang dengan pemahaman akan makna sekedarnya.

Box-1.  Jargon-jargon pemberdayaan.

Proyek ini mempunyai strategi dan orientasi yang lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal”.



B.        Konsep Dasar Pemberdayaan


Istilah ‘pemberdayaan’ diambil dari Bahasa Inggeris ‘empowerment’, yang berasal dari kata dasar ‘power’ berarti kekuatan atau ‘daya’ dalam Bahasa Indonesia.  Empowerment dalam Bahasa Inggeris diterjemahkan sebagai pemberdayaan dalam Bahasa Indonesia.  Kalau demikian, maka definisi kerja pemberdayaan seharusnya dirumuskan sebagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan/daya (power) pihak-pihak yang tidak atau kurang berdayaHarus dipahami sebagai upaya untuk :

o      memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang individu atau kelompok lain, dan
o      membiarkan mereka menguasai dan menggunakan kekuatan/daya (power) tersebut di tangan mereka untuk tujuan dan kepentingan mereka.
Pemberdayaan juga bermakna sebagai upaya distribusi-ulang (redistribusi) kekuatan/daya (power) dari pihak yang memilikinya kepada pihak yang tidak atau kurang memilikinya.  Karena itu, suka atau tidak suka, pemberdayaan selalu mengandung pengertian :

o      pengurangan atau pemindahan daya (power) atau upaya melakukan disempowerment/less empowering pihak-pihak yang memiliki kekuatan/ daya (power),
o      penyerahan/penambahan daya (power) kepada pihak-pihak yang diberdayakan (empowerment).

Hal tersebut tentu saja tidak selalu disukai oleh berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang mengaku diri sebagai pemberdaya.

Dengan pemahaman tersebut di atas, pembahasan tentang pemberdayaan setidaknya harus mencakup konsep dasar tentang kekuatan/daya (power) dan ketidakberdayaan (ketidakberuntungan).  Pembahasan tentang pemberdayaan juga harus menyangkut dinamika hubungan antara berbagai individu atau kelompok yang selalu bersaing untuk memperebutkan kekuatan/daya (power) dan pengaruh karena secara pasti, kekuatan/daya (power) selalu berhubungan dengan kekuasaan dan pengaruh.

Kesimpulannya adalah, setiap pihak yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek yang diakui mengandung muatan pemberdayaan, haruslah miliki pemahaman minimum berkaitan dengan :

§    konsep kekuatan/daya (power) atau ‘power’ itu sendiri,
§    upaya memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang atau sekelompok orang yang kurang atau tidak memilikinya,
§    mengijinkan orang atau sekelompok orang untuk menerima, memiliki dan menggunakan kekuatan/daya (power),
§    mendistribusikan kembali kekuatan/daya (power) dari pihak ‘yang punya kekuatan/daya (power)’ kepada pihak ‘yang tidak punya kekuatan/daya (power)’,
§    ada pihak yang memberikan kekuatan/daya (pemberdaya) dan yang menerima kekuatan/daya (yang diberdayakan),
§    ada strategi, metoda dan substansi pemberdayaan.

Dengan demikian, pada setiap kegiatan ‘pemberdayaan masyarakat’ atau ‘pemberdayaan komunitas’ harus dipahami bahwa masyarakat atau komunitas ditempatkan sebagai pihak yang akan menerima kekuatan/daya (power) atau yang diberdayakan; dan bersamaan dengan itu sebuah program atau proyek, terutama para pelaksana program atau proyek sebagai Si Pemberdaya.  

Persoalannya adalah apakah semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ‘proyek pemberdayaan’ telah memahami apa itu pemberdayaan;  apakah yang menyebabkan komunitas menjadi tidak berdaya;  apakah yang harus diberikan kepada komunitas agar mereka menjadi lebih berdaya;  dan apakah akibat (konsekuensi) yang harus ditanggung oleh para pemberdaya dalam keputusannya melakukan upaya pemberdayaan.
C.     Pandangan Tentang Kekuatan/Daya (Power)

Persaingan memperebutkan kekuatan dan pengaruh dapat terjadi di berbagai tingkatan dan luasan pihak-pihak yang terlibat.  Ini dapat terjadi di antara tokoh-tokoh di suatu komunitas, antara tokoh-tokoh/pemimpin suatu komunitas dengan kelompok atau anggota komunitas itu sendiri, di antara para pemimpin partai politik, di antara partai-partai politik dan seterusnya.  Bahkan bukan tidak mungkin terjadi persaingan memperebutkan kekuatan dan pengaruh antara pekerja pengembangan komunitas dengan para tokoh di dalam komunitas.

Jelaslah bahwa kekuatan/daya (power) sangat menentukan kemampuan seseorang atau kelompok untuk ‘bermain’ di dalam suatu sistem persaingan.  Ini menyangkut kemampuan memahami ‘aturan main’ yang berlaku dan kemampuan mempengaruhi dan memberi tekanan kepada pihak lain (pesaing) dalam kerangka ‘aturan main’ itu.

Pandangan tentang pemberdayaan juga berhubungan dengan pemahaman tentang demokrasi.  Di dalam suatu sistem yang demokratis idealnya setiap orang boleh mempunyai pandangan dan pernyataan berbeda tentang sesuatu.  Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk berpartisipasi dan setiap orang idealnya mempunyai kekuatan yang sama karena demokrasi mempersyaratkan distribusi kekuatan secara merata kepada semua orang.

Pandangan sederhana tentang upaya pemberdayaan yang hanya berusaha untuk mengajari orang agar mampu bermain di dalam sistem (aturan main) yang ada, sama dengan begitu saja menganggap bahwa semua sistem yang ada sudah benar.  Padahal kenyataannya banyak sistem (aturan main) yang memang dirancang ‘berat sebelah’ agar pihak lain tidak dapat menampilkan ‘kemampuan terbaiknya’ untuk ikut bermain di dalam ‘aturan main’ itu.  Karena itu mereka tetap menjadi pihak yang tidak beruntung, yang lemah atau yang tidak berdaya.

Aturan main umumnya menyangkut struktur;  dan struktur yang menekan (oppresive structure) adalah bagian dari penyebab ketidakberdayaan (ketidakberuntungan).  Dalam kondisi demikian inilah pemberdayaan tidak dapat dilakukan dengan tetap menerima struktur dan aturan main yang ada tetapi harus mengubahnya.

Pandangan lain tentang kekuatan dan pengaruh menitik-beratkan pada pentingnya pemahaman tentang ketidak-adilan struktural.  Dalam pandangan ini para elite dianggap sebagai perwakilan dari orang banyak.  Struktur yang tidak adil tidak saja dapat terjadi antara para elite (di hirarki teratas) dengan orang kebanyakan (di dasar hierarki), tetapi dapat juga dalam bentuk struktur diskriminatif berbasis jender, ras dan warna kulit dan antara mayoritas dan minoritas.  Dalam pandangan ini pemberdayaan hanya dapat dilakukan dengan menghapus semua struktur yang tidak adil.

Bagi para elite, permainan kekuatan dan pengaruh (politik) bukan ‘arena’ di mana setiap orang dapat ikut bermain dan masing-masing mempunyai kesempatan yang sama untuk ‘menang’.  Para elite selalu berusaha untuk memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar dari pada orang kebanyakan.  Ini diupayakan melalui proses pengambilan keputusan.  Sangat umum di manapun, para elite terus-menerus berusaha mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang ‘sedikit/banyak’ akan menguntungkan mereka dalam mempertahankan kekuatan dan pengaruh yang sudah mereka miliki.  Para elite memandang bahwa masyarakat itu tersusun secara hirarkis.

Mengingat pandangan para elite terhadap kekuatan dan pengaruh seperti yang telah diuraikan, maka upaya-upaya pemberdayaan haruslah juga menyangkut peningkatan keterampilan berpolitik, pengembangan aliansi (asosiasi) dan upaya-upaya mempengaruhi para elite itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan, serta upaya-upaya yang lebih mendasar yaitu perjuangan mengubah sistem yang tidak sesuai.

Pandangan terakhir tentang kekuatan/daya (power) justru menitik-beratkan pada pemahaman tentang kekuatan/daya (power) itu sendiri, penggunaan bahasa dalam mendefinisikan dan memberlakukan kekuatan dan pengaruh, definisi dan akumulasi pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu dibangun.  Contoh untuk ini misalnya tidak diakuinya pengetahuan tradisional tentang kehutanan mengakibatkan cara-cara tradisional dalam pengelolaan hutan menjadi tidak diakui karena dianggap tidak ilmiah.  Contoh lain, seorang sarjana utama (S3) orang Indonesia kurang kesempatan memasuki pasar kerja karena ada persyaratan kemampuan berbahasa Inggeris yang tidak dimilikinya, sekalipun kemampuan akademiknya untuk bidang pekerjaan yang ditawarkan tidak lebih rendah atau mungkin lebih tinggi daripada orang lain.  Dalam hal demikian maka sarjana Indonesia ini menjadi pihak yang tidak beruntung (tidak berdaya) hanya karena tidak dapat berbahasa Inggris.


D.     Untuk Apa Kekuatan/Daya (Power) ..?

Setelah membahas berbagai pandangan tentang kekuatan/daya (power) maka pertanyaan berikutnya adalah untuk apa sesungguhnya kekuatan/daya (power) tersebut dibutuhkan.  Atau dengan kata lain, untuk hal apa seseorang, kelompok atau masyarakat perlu memiliki kekuatan.  Pertanyaan ini penting karena tentu saja ada kekuatan yang sungguh-sungguh tidak diperlukan (bahkan tidak boleh ada) terutama dalam kaitan dengan keadilan sosial.  Kekuatan yang tidak boleh ada tersebut misalnya :  kekuatan untuk memeras (mengeksploitasi) orang lain, kekuatan untuk membiayai provokasi dan pertikaian, kekuatan untuk merusak lingkungan dan sebagainya.
Berikut ini akan dibahas berbagai kebutuhan dasar di mana kekuatan/daya (power) benar-benar diperlukan.
1.      Kekuatan/daya (power) untuk menentukan pilihan pribadi dan kesempatan untuk hidup
Banyak orang yang tidak berdaya untuk menentukan masa depannya sendiri.  Tidak berdaya menentukan gaya hidupnya sendiri, tempat kediaman dan kedudukan atau pekerjaan sesuai dengan keinginannya.  Dalam kategori ini juga termasuk ketidakberdayaan atas tubuhnya sendiri;  untuk menentukan jenis kelamin dan tingkat kesehatan yang diinginkan.  Pilihan-pilihan yang berkenaan dengan hal ini umumnya ditentukan oleh faktor-faktor struktural.

Akibat terparah dari kemiskinan adalah ketidakberdayaan karena orang miskin hanya memiliki sedikit pilihan sempit dan lebih banyak lagi yang tidak mempunyai pilihan sama sekali.

Struktur patriarchat (garis bapak) umumnya mengakibatkan para perempuan tidak berdaya menentukan pilihan pribadi atas berbagai hal.  Norma-norma budaya tertentu juga membatasi kekuatan seseorang untuk menentukan pilihan-pilihan pribadinya.  Pemberdayaan hendaknya menyakup upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi, kelompok, komunitas atau masyarakat.

2.      Kekuatan/daya (power) untuk menentukan kebutuhan
Salah satu ciri-ciri masyarakat moderen adalah adanya kediktatoran dalam merumuskan dan mendefinisikan kebutuhanDiktator-diktator ini umumnya adalah para perencana, birokrat, konsultan, elite, manajer, orang-orang yang menyebut dirinya atau disebut sebagai ahli dan profesional, serta badan-badan penyalur bantuan pembangunan (lembaga donor), bahkan para pekerja pengembangan komunitas.

Karena di dalam menentukan dan menyatakan kebutuhan sedikit-banyak diperlukan pengetahuan, keterampilan dan informasi;  maka substansi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan informasi yang diperlukan dalam menentukan dan mendefinisikan kebutuhan hendaklah menjadi bagian dari setiap proses pemberdayaan.

3.      Kekuatan/daya (power) untuk mengeluarkan gagasan
Banyak kasus di mana orang menjadi tidak berdaya mengungkapkan pikiran dan gagasan.  Situasi ini umumnya terjadi karena adanya suatu kekuasaan ‘kultur dominan’ di masyarakat.  Seseorang yang menyatakan gagasan yang berbeda dari kelumrahan orang banyak disebut ‘nyeleneh’, melawan arus, tidak masuk akal, dan bahkan sering dicap sebagai ‘orang gila’.

Mempetimbangkan hal di atas, maka pemberdayaan harus pula mengandung upaya-upaya untuk secara konsisten menguji sesuatu yang secara umum dianggap sebagai kelumrahan, mendorong dan memberi kesempatan otonomi berpikir, serta memelihara konsistensi untuk selalu bersedia mendengarkan dan memperhitungkan gagasan-gagasan baru.  Untuk ini tidak ada instrumen lain kecuali pendidikan dalam arti yang luas.

4.      Kekuatan/daya (power) untuk memanfaatkan kelembagaan/institusi yang ada
Tidak dapat disangkal bahwa penyebab utama ketidakberdayaan adalah pengaruh dari institusi-institusi (kelembagaan) yang ada, seperti sistem pendidikan, sistem demokrasi, sistem dan struktur pemerintahan, sistem kesejahteraan sosial dan sebagainya.

Pemberdayaan harus menyangkut peningkatan kemampuan komunitas untuk bermain di dalam institusi-institusi tersebut dan bahkan peningkatan kemampuan untuk mempengaruhi dan mengubah institusi (kelembagaan) yang ada jika perlu.

5.      Kekuatan/daya (power) untuk menjangkau dan memanfaatkan sumberdaya
Sebagian besar orang tidak mempunyai daya jangkau (akses) terhadap berbagai sumberdaya seperti :  teknologi dan ilmu pengetahuan, pen-didikan, rekreasi, budaya, finansial dan bahkan sumberdaya alam.  Karena itu pemberdayaan harus mengandung upaya memampukan orang untuk memperoleh berbagai sumberdaya tersebut dan upaya-upaya yang konsisten untuk menghapus berbagai hambatan distribusi sumberdaya itu.

6.      Kekuatan/daya (power) untuk melakukan kegiatan ekonomi
Mekanisme dasar produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa sangat vital bagi masyarakat manapun.  Agar memiliki kekuatan di dalam masyarakat yang demikian, setiap orang harus mampu mengendalikan dan menjangkau mekanisme tersebut.  Di dalam masyarakat kapitalis moderen ada ketidakseimbangan (ketidakadilan) dalam mekanisme ini.  Inilah yang menjadi salah satu penyebab utama ketidak-berdayaan.

Pemberdayaan harus pula mengandung upaya-upaya agar mekanisme distribusi sumberdaya ekonomi tersebut agar menjadi semakin merata.

7.      Kekuatan/daya (power) untuk bereproduksi (meneruskan keturunan)
Sepenting mekanisme produksi, proses reproduksi juga menjadi hal yang sangat penting bagi setiap masyarakat.  Pengendalian proses reproduksi, dalam hal ini tidaklah sebatas yang berkaitan dengan kelahiran, tetapi juga menyangkut mengasuh dan membesarkan anak, pendidikan dan sosialisasi.  Selain itu juga termasuk semua mekanisme di mana tatanan sosial, ekonomi dan politik direproduksi untuk generasi yang akan datang.  Kekuatan untuk bereproduksi tidak terdistribusi secara merata di dalam masyarakat karena berbagai penghambat.  Penyebabnya lagi-lagi diskriminasi berbasis, ras, golongan, jender dan kelas.  Kategori ini juga berhubungan erat dengan kekuatan untuk menentukan pilihan pribadi dan kekuatan mengemukakan gagasan seperti yang telah dibahas di muka.


E.      Peringatan Untuk Para Pemberdaya..!!!

Kesukariaan kebebasan sejak perubahan politik yang begitu cepat di Indonesia setelah ‘reformasi’ nampaknya telah mengakibatkan semua orang begitu enteng menyatakan apa saja.  Nampaknya tak banyak orang butuh terlebih dahulu memahami makna sesuatu sebelum mengatakan bahkan sebelum meneriakkannya.  Banyak kata kehilangan makna dan banyak makna salah terapan.  Kondisi ini sudah terjadi bahkan sejak ‘masa Orde Baru’, di mana negara pada saat itu bertindak sebagai agen tunggal pemberian penafsiran terhadap setiap kata dan istilah yang dikembangkan.

Pada saat sekarang semua orang merasa bebas, dan ini sering diwujudkan dalam bentuk ‘kebablasan’, terutama dengan sikap seenaknya mengatakan, memberi arti dan bertindak tanpa peduli makna.

Pemberdayaan adalah salah satu di antara sekian banyak istilah yang mengalami ‘nasib buruk’ di jaman reformasi ini.  Sama buruknya dengan nasib istilah ‘reformasi’ itu sendiri, sampai-sampai tindakan anarkispun sudah di-claim sebagai tindakan reformasi.  Begitu mudah orang mengucapkan ‘pemberdayaan’;  begitu mudah orang mengaku telah melakukan upaya pemberdayaan;  begitu mudah orang mengaku bahwa tindakan yang dilakukannya adalah suatu pemberdayaan.

Karena itu, sangat dianjurkan agar setiap pihak yang mengaku dirinya sebagai ‘Pemberdaya’ lebih berhati-hati mengucapkan istilah ini, dan terlebih penting lagi agar lebih berhati-hati mengaku diri telah melakukan upaya pemberdayaan, atau mengaku diri sebagai seorang ‘Pemberdaya’.  Setidaknya kehati-hatian ini diharapkan dengan :

1.      Berupaya lebih memahami makna dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemberdayaan.  Untuk itu, diharapkan tulisan ini dapat membantu;
2.      Melalui pemahaman atas makna pemberdayaan, setiap orang yang mengaku diri sebagai ‘Pemberdaya’ menyadari bahwa upaya pem-berdayaan yang dilakukannya selalu membawa konskuensi balik kepada dirinya sendiri.  Konsekuensi balik ini justru terjadi jika upaya pem-berdayaan itu berhasil.  Hal ini logis karena pemberdayaan mengandung makna pemindahan kekuatan (power) dari yang memilikinya (dari Si Pemberdaya) kepada yang kurang dan yang tidak memilikinya (kepada Yang Diberdayakan).  Dengan demikian, membayangkan kekuatan (power) sebagai sesuatu yang bersifat material, berarti seorang Pemberdaya yang berhasil justru akan semakin kehilangan kekuatan (power).  Ini sering tidak terlalu mudah bagi sebagian besar orang.
3.      Konsisten mempertanyakan kepada diri sendiri;  untuk memberdayakan pihak lain, apakah yang harus diberikan..?  Atau, jika mengaku diri telah melakukan upaya pemberdayaan, apakah yang sudah diberikan kepada pihak Yang Diberdayakan itu…?  Adalah sesuatu yang “omong kosong” jika seseorang mengaku diri sebagai seorang Pemberdaya, sementara dirinya sendiri tidak dapat menunjukkan apa saja yang sudah diberikan kepada pihak Yang Diberdayakannya.

Setelah membahas tentang daya/kekuatan (power), pertanyaan kritis berikutnya adalah apakah yang membuat seseorang, satu kelompok atau satu pihak menjadi lebih berdaya daripada orang, kelompok atau pihak lain..?  Apakah saja sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power) yang harus diberikan oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai pemberdaya kepada orang (pihak) yang diberdayakannya..?

CATATAN :       Bedakan penyebutan sumberdaya (resource) dengan sumber daya (source of power).



F.      Sumber-sumber Daya/Kekuatan (Sources of Power)

Seseorang akan menjadi lebih berdaya daripada orang lain jika dia memiliki salah satu, beberapa dan/atau semua sumber daya/kekuatan (sources of power) sebagai berikut :

1.      Kewenangan formal
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang atas orang lain karena memiliki kewenangan formal.  Dengan kata lain, seseorang menjadi lebih berdaya dari orang lain karena memiliki kewenangan formal yang mengatur hubungan interaksi antara keduanya.  Contohnya, seorang guru lebih berdaya daripada para siswanya karena guru atas nama sekolah memiliki kewenangan formal untuk memberikan nilai evaluasi kemajuan belajar para siswa.  Contoh lainnya setiap atasan lebih berdaya daripada para bawahan-nya karena para atasan tersebut memiliki kewenangan untuk memberi penilaian atas kinerja para bawahan.

2.      Sanksi
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari adanya sanksi yang dapat diberlakukan/diberikan kepada pihak lain dalam kaitan dengan hubungan interaksi antara keduanya.  Seseorang lebih berdaya daripada pihak lain karena ada ancaman sanksi yang dapat diberikan kepada salah satu pihak.  Contohnya, para pelanggan telepon, listrik dan air bersih tidak berdaya terhadap PLN, PT. Telkom dan PDAM karena adanya ketentuan sanksi pemutusan aliran listrik, sambungan telepon dan air minum jika pelanggan terlambat menyelesaikan pembayaran rekening.
3.      Informasi
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang atau satu pihak atau kelompok karena mengusasi informasi (informasi penting) tertentu yang berkaitan dengan hubungan antara keduanya.  Contohnya, seorang warga masyarakat tidak berdaya menolak membayar biaya yang cukup tinggi kepada oknum Kelurahan untuk memperoleh KTP, karena dia tidak memiliki informasi akurat tentang ketentuan biaya pembuatan KTP yang sesungguhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

4.      Pengetahuan
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang karena dia memiliki pengetahuan tertentu yang sangat penting dalam kaitan dengan hubungan dengan pihak lain.  Dalam keseharian, memiliki pengetahuan sama dengan pintar dan tidak memiliki pengetahuan sama dengan bodoh.  Orang pintar selalu lebih berdaya daripada orang bodoh.  Pepatah dalam Bahasa Inggris mengatakan :  “Knowledge is Power”.

5.      Keterampilan
Seseorang memiliki daya/kekuatan (power) karena memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan/atau tidak dimiliki oleh pihak lain.  Jika sebuah lowongan pekerjaan terbuka dan pekerjaan itu memerlukan keterampilan tertentu, maka orang yang memiliki keterampilan paling tinggi untuk itu akan lebih berdaya dalam memenangi persaingan untuk mengisi lowongan tersebut.  Contoh lain, seseorang yang memiliki keterampilan khusus dan tinggi lebih berdaya menentukan proses produksi suatu perusahaan daripada pemilik perusahaan itu sendiri.

6.      Asosiasi (kolektivitas/kebersamaan)
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki sekelompok orang karena kekompakan (kebersamaan di antara mereka).  Sekelompok orang yang bersatu-padu akan lebih berdaya karena potensi mereka terkonsentrasi.  Para buruh menggunakan kebersamaan mereka dalam serikat buruh untuk mengimbangi power manajemen perusahaan karena kewenangannya.  Pemogokan adalah upaya mengkombinasikan kekuatan buruh karena keterampilan yang mereka miliki dengan kekuatan yang bersumber dari adanya asosiasi/kebersamaan yang mereka untuk melawan kekuatan yang dimiliki oleh Manajemen dan Pemilik Perusahaan.  Dengan pemogokan, para buruh menggunakan keterampilan dan asosiasi untuk membuat gangguan (nuisance) pada proses produksi perusahaan.

7.      Gangguan (nuisance)
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki karena adanya kemampuan seseorang (pihak) untuk membuat gangguan (nuisance).  Dengan pemogokan, para buruh membuat gangguan pada proses produksi sehingga Manajemen dan Pemilik Perusahaan menjadi tidak berdaya untuk menolak tuntutan kenaikan upah, meskipun merekalah yang punya kewenangan untuk itu.

8.      Moral
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang karena dipandang memiliki moral yang baik.  Orang yang bermoral baik adalah orang yang secara konsisten mematuhi dan bahkan memelihara nilai-nilai, norma, aturan yang diakui bersama.  Dalam hal ini orang yang bermoral baik tersebut lebih berdaya bukan karena ditakuti tetapi karena disegani.  Contoh :  para santri tidak berdaya menentang para kiyai pemimpin pondok pesantren karena diyakini dan dirasakan bahwa Sang Kiyai tersebut memiliki moralitas yang tinggi.
9.      Kharisma (wibawa)
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang karena dia memiliki kharisma (wibawa) yang besar.  Perintah, himbauan, ajuran dari seorang yang kharismatik cenderung diikuti oleh banyak orang tanpa banyak tanya.  Dengan kata lain, orang memiliki kharisma (wibawa) mampu menempatkan orang-orang lain di bawah kepemimpinannya dan menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu.

10.    Ekonomi
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang karena memiliki, menguasai dan mengendalikan sumberdaya ekonomi yang dibutuhkan oleh orang atau pihak lain (finansial, bahan baku, proses dan peralatan produksi serta distribusi barang dan jasa).  Seorang yang memiliki cukup banyak uang akan memiliki sejumlah pilihan yang lebih besar atas berbagai alternatif yang mungkin.  Bahkan ada orang yang mengatakan; “Uang berkuasa..!”.  Orang miskin memiliki pilihan yang sempit dan bahkan sering tidak punya pilihan alternatif.  Karena itu kemiskinan adalah salah satu bentuk dan sekaligus sumber ketidak-berdayaan.

11.    Persistensi
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebabkan karena telah lama secara terus-menerus memiliki dan menguasai daya/kekuatan (power) itu sendiri.  Sudah jadi rumus umum bahwa semakin lama seseorang berkuasa semakin sulit dia dilepaskan/ ditumbangkan dari kekuasaan itu.  Secara umum setiap orang yang sedang berkuasa akan cenderung berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya itu dengan segala cara.

Alasan lain adalah bahwa secara umum akan lebih mudah mem-pertahankan apa yang sudah ada (lebih mudah mempertahankan status quo) daripada membuat perubahan.  Itulah sebabnya mengapa suatu keadaan yang sudah persisten (sudah berlangsung lama) umumnya lebih berdaya daripada arus perubahan yang ingin menggantikannya.  Karena itu sesuatu yang harus persisten adalah perubahan itu sendiri, atau perubahan yang terus menerus.  Perubahan terus-menerus inilah yang kita sebut sebagai transformasi.

Contoh aktual untuk kasus di atas adalah betapa tidak berdayanya Reformasi menggerakkan perubahan karena Anti-reformasi sudah begitu persisten dan lebih menginginkan status quo.  Betapa sulit dan besarnya pengorbanan untuk mengganti Mantan Presiden Soeharto dengan orang lain karena kekuatan Soeharto sudah sempat persisten.  Itulah sebabnya mengapa pembatasan masa jabatan tertentu di dalam suatu organisasi diperlukan untuk mencegah persistensi kekuatan yang cenderung mengakumulasi di tangan satu atau sekelompok orang.


G.     Berbagai Pilihan Strategi Pemberdayaan

Pilihan-pilihan strategi pemberdayaan dapat ditentukan berbasis pada solusi yang harus dilakukan berdasarkan anggapan terhadap persoalan-persoalan sosial, berbasis pada pandangan (perspektif) terhadap daya/kekuatan (power) itu sendiri dan berbasis pada pertimbangan atas sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power) yang perlu diberikan kepada pihak yang ingin diberdayakan.

Berikut ini adalah ringkasan berbagai usulan solusi atas berbagai persoalan sosial jika ditinjau dari berbagai pandangan dan anggapan terhadap ketidak-berdayaan dan sumber-sumber penyebab ketidakadilan sosial (Tabel 1).

Tabel 1.     Pandangan dan anggapan terhadap sumber penyebab ketidakberdayaan dan ketidakadilan sosial.

Perspektif
Yang disalahkan
Anggapan tentang persoalan
Penyelesaian
(solusi).
Individual
Yang salah
adalah si korban
Penyakit individu, psikologis, biologis, kekurangan moral/
karakter
Terapi, perlakuan medis, perbaikan perilaku, pe-nasehatan, pengawasan.
Reformis Ke-lembagaan
yang salah
adalah si penolong
Kelembagaan yang di-kembangkan untuk meng-atasi masalah :  peradilan, sekolah, dinas/departemen sosial.
Perubahan kelembagaan, penambahan sumberdaya, peningkatan pelayanan, pelatihan petugas, dan sebagainya.
Struktural
yang salah
adalah sistem.
Ketidakberuntungan struktural/tekanan struktural :
ras/etnis, agama, jender, kelas, distribusi pendapatan, distribusi kekuatan (power) dan sebagainya.
Perubahan struktural, meng-ubah basis tekanan, gerakan pembebasan, revolusi dan sebagainya.
Post/Pasca-
struktural
yang salah
adalah wacana yang ber-kembang.
Modernitas, bahasa, pem-bentukan dan akumulasi pengetahuan, pemahaman bersama.
Analisis dan pemahaman tentang wacana yang ber-kembang, akses terhadap pemahaman, menguji per-aturan yang ada dan se-bagainya.


Berdasarkan ringkasan di atas dapat diberikan masing-masing satu contoh sebagai berikut :

1.      Kalau seseorang seringkali terlalu banyak alasan untuk membayar pinjaman yang sudah jatuh tempo;  dia akan tidak dipercaya lagi untuk memperoleh pinjaman sekalipun dia sangat membutuhkannya.  Dia menjadi korban (tidak berdaya) menjangkau modal karena kesalahannya sendiri.  Agar dia berdaya kembali, upaya yang harus dilakukan adalah memperbaiki kelakuan misalnya melalui penasehatan (konseling).

2.      Jika banyak orang jadi pengangguran dan jadi pengemis di jalanan, yang salah (yang jadi sumber masalah) adalah Dinas/Departemen Sosial dan peraturan perundang-undangan yang membentuknya.  Solusinya adalah perbaikan Dinas/Departemen Sosial melalui penataan organisasi, pelatihan pegawai, penambahan anggaran, perubahan peraturan per-undang-undangan tentang Dinas/Departemen Sosial, dan sebagainya.

3.      Jika ada orang miskin karena diperlakukan diskriminatif karena dia keturunan rakyat jelata, maka yang salah (yang jadi sumber masalah) adalah adanya struktur kelas di masyarakat.  Solusinya adalah manghapus struktur itu.  Menghapus sistem kelas di dalam masyarakat.

4.      Kalau ada orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan cukup tetapi tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa tertentu, dan karena itu dia tidak memperoleh kesempatan kerja, maka yang salah (yang jadi sumber masalah) adalah wacana penggunaan bahasa itu.  Solusinya adalah menganalisis dan memahami wacana penggunaan bahasa, mem-buka akses terhadap pemahaman dan mengubah peraturan untuk menghambat wacana yang berkembang.

Berbasis pada cara pandang terhadap masyarakat dan daya/kekuatan (power), maka beberapa strategi pemberdayaan yang mungkin dilakukan dapat diringkas sebagaimana pada tabel pada Tabel 2.

Tabel 2.     Beberapa pilihan strategi pemberdayaan berdasarkan pandangan ter-hadap masyarakat dan daya/kekuatan (power).



Perspektif
Pandangan
terhadap
masyarakat
Pandangan
terhadapdaya/kekuatan (power)
Strategi
Pemberdayaan
(solusi).
Pluralis
Persaingan kepentingan antar kelompok dan individu.
Kapasitas untuk memenangi persaingan, kalah/menang.
Membelajari individu atau kelompok agar mampu bersaing di dalam peraturan yang berlaku.
Elite
Jumlah kebanyak-an dikendalikan oleh sejumlah kecil elite.
Sebagian besar dipegang oleh para elite melalui kepemilikan dan kendali atas institusi/kelembagaan utama yang dominan.
Bersatu mempengaruhi elite, membangun aliansi dengan para elite, melawan dan mengubah para elite.
Struktural
Berjenjang secara hierarkis sesuai dengan struktur yang  menekan.
Dimiliki oleh kelompok dominan melalui struktur yang bersifat menekan.
Pembebasan, perubahan struktural secara mendasar, menentang setiap struktur yang bersifat menekan.
Post/Pasca
struktural
Dibentuk oleh konstruksi pengertian, pemahaman, bahasa, akumulasi dan kendali atas pengetahuan.
Dikuasai melalui kendali atas wacana, konstruksi pengetahuan dan sebagainya.
Mengubah wacana, membangun pemahaman subyektif yang baru, pendidikan yang membebaskan.


Kondisi ketidakberdayaan dan ketidakadilan sosial dari berbagai perspektif seperti yang sudah diuraikan, semuanya sesuai dengan fakta yang dapat dicermati di masyarakat Indonesia sekarang ini.  Karena itu strategi yang diajukan untuk penyelesaian masalah dan pilihan strategi pemberdayaan komunitas yang diusulkan memiliki potensi aplikasi.  Dengan demikian, makin jelas bahwa upaya pemberdayaan harus menggunakan multi-strategi, dan karena itu pemberdayaan komunitas tidak dapat dilakukan dalam fenomena tertutup (enclave).

Strategi dan instrumen pemberdayaan komunitas yang lebih konkrit dapat dirumuskan berdasarkan sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power) yang idealnya harus diberikan agar seseorang atau kelompok agar dapat menjadi lebih berdaya.  Secara ringkas berbagai pilihan strategi tersebut dipaparkan pada Tabel 3.

Tabel 3.        Beberapa strategi dan instrumen pemberdayaan yang dapat digunakan berdasarkan sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power).


No.
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources of power)

No.
Strategi (Instrumen) Pemberdayaan
Yang Dapat Digunakan Oleh
Para Pekerja Pengembangan Komunitas
1.
Kewenangan formal.
1.1.
Kurangi/serahkan kewenangan formal yang melekat pada setiap tugas dan fungsi secara bertahap kepada komunitas, seiring dengan meningkatnya (perkembangan) kemampuan komunitas.


1.2.
Distribusikan kewenangan penentuan berbagai proses, mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan kegiatan komunitas kepada individu, kelompok dan/atau unsur-unsur di dalam komunitas.


1.3.
Hindari pembentukan organisasi yang menonjolkan struktur hierarkis.  Upayakan organisasi miskin struktur, kaya fungsi.


1.4.
Dorong demokratisasi maksimum dalam setiap proses pengambilan keputusan.


1.5.
Waspadai penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) oleh diri sendiri maupun oleh komunitas.


1.6.
Tingkatkan kemampuan komunitas melakukan peng-awasan (social control) atas pelaksanaan kewenangan.
2.
Sanksi
2.1.
Jangan pernah menggunakan sanksi kecuali untuk pe-langgaran berat dalam rangka memperbaiki perilaku menyimpang dan menegakkan disiplin.


2.2.
Waspadai penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) oleh diri sendiri maupun oleh komunitas, karena kecenderungan terlalu mudah (ringan tangan) menjatuh-kan sanksi.


2.3.
Hindari diterbitkannya peraturan yang sarad sanksi miskin persuasi, dorongan dan motivasi.



No.
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources of power)
No.
Strategi (Instrumen) Pemberdayaan
Yang Dapat Digunakan Oleh
Para Pekerja Pengembangan Komunitas
3.
Informasi
3.1.
Tingkatkan kemempanan komunikasi.


3.2.
Intensifkan penyediaan sumberdaya informasi.




4.
Pengetahuan
4.1.
Intensifkan penyediaan sumberdaya informasi.


4.2.
Laksanakan pendidikan dan pelatihan secara konsisten.
5.
Keterampilan
5.1.
Intensifkan penyediaan sumberdaya informasi.


5.2.
Laksanakan pendidikan dan pelatihan secara konsisten.
6.
Asosiasi (kolektivitas/ kebersamaan)
6.1.
Lakukan pengorganisasian dengan baik.


6.2.
Lakukan pengelolaan kelompok dengan baik.


6.3.
Lakukan pengelolaan pengaduan dengan baik.


6.4.
Lakukan pengelolaan konflik dengan baik.


6.5.
Usahakan mencapai mufakat (konsensus) optimum dalam setiap proses pengambilan keputusan.


6.6.
Upayakan partisipasi aktif dalam setiap proses dan pelaksanaan kegiatan.


6.7.
Tingkatkan energi sosial dan kembangkan modal sosial kelompok dan komunitas.
7.
Gangguan/nuisance.
7.1.
Lakukan pengorganisasian dengan baik (dalam arti pengorganisasian kesadaran, tujuan, dan potensi kolektif komunitas).


7.2.
Indentifikasi masalah, ancaman, dan tantangan yang dihadapi bersama secara partisipatif.


7.3.
Lakukan pengelolaan kelompok dengan baik.


7.4.
Lakukan pengelolaan konflik dengan baik.


7.5.
Usahakan mencapai mufakat (konsensus) optimum dalam setiap proses pengambilan keputusan.


7.6.
Upayakan partisipasi aktif dalam setiap proses dan pelaksanaan kegiatan.


7.7.
Fasilitasi komunitas agar secara konsisten melakukan evaluasi (aksi-refleksi-aksi) setiap kali menyelesaikan satu kegiatan.


7.8.
Identifikasi sasaran secara tepat, buat gangguan hanya sebagai tindakan awal – bukan menerus.
8.
Moral
8.1.
Identifikasi norma, nilai-nilai dan aturan positif yang berlaku di dalam komunitas.


8.2.
Gunakan norma, nilai-nilai dan aturan positif yang ber-laku di dalam komunitas secara konsisten dan partisipatif untuk menilai setiap perilaku.


8.3.
Sediakan penasehatan (konseling) bagi setiap penurun-an kadar moralitas sejak dini (mulai gejala paling kecil).


8.4.
Terapkan sanksi secara cermat, tepat dan tanpa kecuali terhadap setiap penyimpangan perilaku yang parah (pelanggaran berat).
9.
Kharisma
9.1.
Pelihara konsistensi pelaksanaan setiap proses dan tindakan pemeliharaan moralitas (8.1 s/d 8.4).


9.2.
Hindari penggunaan kharisma yang berlebihan dan negatif karena dapat menyebabkan pelemahan dan hambatan komunikasi di dalam komunitas serta pelemahan.



No.
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources of power)
No.
Strategi (Instrumen) Pemberdayaan
Yang Dapat Digunakan Oleh
Para Pekerja Pengembangan Komunitas
10.
Ekonomi
10.1.
Indentifikasi struktur komunitas berdasarkan tingkat dan distribusi penguasaan sumberdaya ekonomi.


10.2.
Tingkatkan kesadaran dan kepedulian para elite ekonomi komunitas akan masalah ekonomi yang dialami oleh kelompok yang tidak mampu di dalam komunitas.


10.3.
Tingkatkan kesadaran kritis kelompok yang tidak mampu akan ketidakmampuan mereka sendiri.


10.4.
Lakukan pengorganisasian kelompok yang tidak mampu untuk mengatasi kemiskinan mereka sendiri.


10.5.
Fasilitasi kegiatan ekonomi produktif untuk kelompok yang tidak mampu dalam rangka mengatasi kemiskinan mereka sendiri.


10.6.
Galang partisipasi aktif para elite ekonomi dalam mem-fasilitasi kegiatan ekonomi produktif untuk kelompok yang tidak mampu.
11.
Persistensi
11.1.
Dorong pemberlakuan pembatasan masa jabatan di setiap organisasi yang ada di dalam komunitas.


11.2.
Dorong agar setiap anggota komunitas berpartisipatif aktif dalam setiap proses dan kegiatan.


11.3.
Hindari pemberlakuan prinsip-prinsip demokrasi per-wakilan dalam proses pengambilan keputusan, dorong pemberlakuan prinsip-prinsip demokrasi partisipatif; ter-utama pada proses seleksi dan rekrutmen pemimpin lokal.


11.4.
Tingkatkan kemampuan komunitas dalam melakukan pengawasan (social control) atas pelaksanaan kewenangan oleh ara elite.


11.5.
Hindari pola kaderisasi kepemimpinan lokal komunitas yang berbasis senioritas dan kharisma, dorong ke arah merit system (berbasis kemampuan).


11.6.
Tingkatkan kesadaran bahwa satu-satunya yang harus persisten dan menerus adalah perubahan itu sendiri.  Perubahan yang menerus inilah yang disebut sebagai transformasi.



H.     Sisi Pedih Pemberdayaan (The Bitter-side of Empowerment)

Setiap orang yang memilih, terpilih, bahkan yang terpaksa bekerja dan terlibat di dalam program/proyek yang bermuatan pemberdayaan komunitas, memperoleh sebutan/predikat/gelar yang ‘gagah’ penuh prestise sebagai Sang Pemberdaya.  Setiap orang, terutama yang menyebut dirinya sebagai Pemberdaya hendaknya menyempatkan diri mencermati kembali rumus Abraham Maslow dan Ronggowarsito tentang piramida kebutuhan manusia pada Gambar 1.

Sedikit sekali orang yang sampai pada tahapan puncak pencarian kebutuhan, yaitu Meta Motivasi (Pandita) - orang yang sudah tidak lagi mencari Aktualisasi Diri (Kukila) dan Prestise/Rasa Bangga (Turangga), tetapi yang sudah mencari jalan bertemu dengan Khaliknya (her/his Creator).  Saudara-saudara yang beragama Islam menyebutnya, mencari dan mendekatkan diri ke jembatan menuju surga.

Kebanyakan orang berada di salah satu tahap pemenuhan kebutuhan antara Level-1 - Level-4.  Bahkan karena ego yang merajai, kebanyakan orang (termasuk para Pemberdaya) berada di keempat level pertama itu sekaligus.  Tak puas-puas dipuji dan dihormati, tak puas-puas dilayani, tak pernah merasa aman sekalipun depositonya telah menunjukkan angka fantastis dan bahkan tak pernah merasa kenyang akan berbagai makanan sedap dan berbagai bentuk kenikmatan lainnya.  Kekuasaan ‘kerajaan ego’ adalah ancaman paling besar yang memungkinkan seorang Pemberdaya menjadi tidak berdaya melaksanakan tugas pemberdayaan.

Adalah kebutuhan akan Rasa Bangga (prestise) yang membuat setiap orang lebih suka didengarkan daripada mendengarkan orang lain.

Adalah Rasa Bangga (prestise) yang menyebabkan setiap orang menyukai kewenangan, karena kewenangan menjadi sumber kekuatan (power) atas orang lain.

 Adalah kebutuhan akan dicintai dan dihargai orang lain yang menyebabkan setiap orang cenderung lupa mencintai dan menghargai orang lain, dan seterusnya.

 




















Text Box: Gambar 1. Piramida Kebutuhan Manusia Menurut Maslow dan Ronggowarsito.


Sisi lemah setiap orang ditinjau dengan kacamata Piramida Kebutuhan di muka, menyebabkan orang sulit menjadi Pemberdaya Sejati.  Hal ini terjadi karena pemberdayaan mengharuskan penyerahan sumber daya (sources of power) dari Si Pemberdaya kepada Yang Diberdayakan.  Ini mengandung apa yang disebut sebagai sisi pedih pemberdayaan sebagaimana akan diuraikan di bawah.

1.      Secara gradual Si Pemberdaya akan kehilangan kewenangan formal, karena harus dipindahkan kepada Orang/pihak Yang Diberdayakan.  Konsekuensinya kebanggaan sebagai orang yang berkuasa akan semakin berkurang.  Sungguh tidak enak dan tidak mudah menjadi orang yang tidak lagi berkuasa.  Secara umum orang menyebut hal ini sebagai post-power syndrome.

2.      Suatu saat pengetahuan Si Pemberdaya akan mendekati sama atau sama dengan pengetahuan Orang/pihak Yang Diberdayakan karena pemberdayaan menuntut pemindahan pengetahuan dari Si Pemberdaya kepada Orang/pihak Yang Diberdayakan.  Konsekuensinya, kebanggaan sebagai orang yang lebih pintar dan ‘lebih tahu’ akan makin berkurang.  Kebanyakan orang menyukai lebih pintar daripada orang lain, bahkan cukup banyak orang yang ‘sok pintar’.  Sungguh tidak mudah menerima kenyataan bahwa ada orang yang sama atau lebih pintar daripada diri sendiri.

3.      Suatu saat keterampilan Si Pemberdaya akan mendekati atau sama dengan keterampilan yang dimiliki oleh orang/pihak Yang Diberdayakan.  Konsekuensinya kebanggaan sebagai orang lebih terampil akan semakin berkurang.  Kebanyakan orang lebih suka menyimpan keterampilan yang dimilikinya untuk dirinya sendiri.  Tidak mudah merelakan orang lain menggunakan keterampilan yang pernah kita berikan untuk dirinya sendiri.

4.      Suatu saat ‘bantuan’ dari Si Pemberdaya tidak lagi dibutuhkan oleh Orang/pihak Yang Diberdayakan.  Kebanggaan sebagai “pemberi bantuan” akan hilang.  Hal ini seringkali terkait erat dengan kehausan yang tak pernah terpuaskan akan penghormatan dari orang lain.  Tidak mudah menjadi orang yang tidak lagi dibutuhkan.

Demikian seterusnya, sampai suatu titik di mana semua sumber kekuatan/ daya (source of power) yang dimiliki oleh Si Pemberdaya dipindahkan kepada orang/pihak Yang Diberdayakan;  atau paling tidak, akhirnya akan dimiliki oleh kedua pihak dalam kadar/jumlah yang relatif sama.  Inilah sesungguhnya yang menjadi visi terdepan setiap upaya pemberdayaan.

Dengan demikian, setiap orang yang tidak memiliki kerelaan untuk menyerahkan sumber-sumber daya (sources of power) yang dimilikinya, jangan pernah menyebut dirinya sebagai seorang PemberdayaSeorang Pemberdaya Sejati adalah orang yang sanggup menerima sisi pedih pemberdayaan (the bitter side of empowerment) yang pasti akan muncul seiring dengan keberhasilan proses pemberdayaan itu sendiri.  Hanya ada dua solusi bagi setiap Pemberdaya agar mampu menanggung sisi pedih pemberdayaan, yaitu :
1.      Konsisten mengembangkan tingkat kerelaan (keikhlasan) yang semakin tinggi dalam memberikan segala apa yang dimilikinya kepada orang lain yang diberdayakannya.  Dengan demikian semakin tegas bahwa pem-berdayaan memerlukan kesukarelaan (volunteerism);  dan

2.      Karena pemberdayaan adalah proses pembelajaran yang menerus, maka setiap Pemberdaya harus membelajari dirinya sendiri secara menerus.  Dengan demikian, baik Si Pemberdaya maupun Orang/Pihak Yang Diberdayakan sama-sama mengalami proses transformasi menuju memintar (menjai pintar), sehingga tak perlu ada kepedihan karena menjadi tertinggal atau merasa ditinggalkan.

Patut dicamkan bahwa yang paling banyak ditemukan adalah para pemberdaya palsu yang tidak bersedia secara sadar dan tulus memindahkan segala kekuatan (sumber daya) yang dimilikinya kepada orang/pihak yang seharusnya diberdayakan, tetapi lebih cenderung menyalahgunakan sumber-sumber daya/kekuatan (abuse of power) yang dimilikinya untuk kepentingannya sendiri.  Dia bukanlah seorang pemberdaya, tetapi tidak lebih dan tidak kurang dari sekedar seorang pemerdaya (penipu yang licik).

Setiap orang/pihak yang belum sungguh-sungguh memahami hakekat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberdayaan sebagaimana telah dibahas;  dan yang belum melaksanakan satupun dari berbagai strategi pemberdayaan seperti yang diuraikan di muka, sebaiknya punya rasa malu untuk menyatakan telah melakukan upaya-upaya pemberdayaan dan telah mengaku diri sebagai seorang Pemberdaya.

Dari sebelas (11) sumber daya/sumber kekuatan (sources of power) sebagai-mana diuraikan di muka, berikut ini didaftar sumber-sumber daya yang mana saja yang sudah diberikan oleh corporate kepada komunitas di sekitarnya.

 *Materi Pelatihan Community Development oleh Corporate Forum for Community Development

[     ]