A. Persoalan Dengan Jargon-jargon
Pemberdayaan,
setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru dan bergulirnya proses reformasi telah
menjadi satu istilah yang semakin sering diucapkan orang. Satu kata yang sebelumnya hanya digunakan di
kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), belakangan ini semakin banyak
diucapkan oleh kalangan aparat pemerintahan dan bahkan oleh masyarakat
awam. Tidak jelas apakah istilah ini
diucapkan dengan pemahaman cukup atau sekedar karena ‘latah’. Pemberdayaan yang semula ‘kata yang haram
diucapkan oleh aparatur pemerintah dan dituliskan dalam dokumen resmi negara’,
kini semakin umum ditemukan di berbagai dokumen resmi pemerintah. Di dalam Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 istilah
ini mulai ditemukan dan lebih banyak lagi di dalam Ketetapan MPR RI hasil SU
MPR Tahun 1999. Jika benar bahwa istilah
ini ditulis dan diucapkan tanpa pemahaman akan makna yang sesungguhnya, maka
jadilah pemberdayaan sekedar ‘jargon’. Diucapkan beratus kali sehari tanpa arti dan bahkan
tanpa maksud.
Begitu banyak organisasi dan proyek-proyek
pembangunan yang mengaku telah melakukan upaya pemberdayaan. Sekalipun demikian, jika kemudian dipelajari
konsep, strategi dan apalagi kegiatan yang nyata dilaksanakan, ternyata justru
akan ditemukan betapa pemahaman tentang pemberdayaan sangat tidak
memadai. Jargon-jargon seperti pada
Box-1 sering dirtemukan di dalam dokumen resmi berbagai proyek. Dengan kata lain, istilah pemberdayaan telah
menjadi begitu latah diucapkan dan dituliskan orang dengan pemahaman akan makna
sekedarnya.
Box-1. Jargon-jargon pemberdayaan.
“Proyek ini
mempunyai strategi dan orientasi yang lebih mengutamakan pemberdayaan
masyarakat dan institusi lokal”.
B. Konsep Dasar Pemberdayaan
Istilah ‘pemberdayaan’ diambil dari Bahasa
Inggeris ‘empowerment’, yang berasal dari kata dasar ‘power’
berarti kekuatan atau ‘daya’ dalam Bahasa Indonesia. Empowerment dalam Bahasa Inggeris
diterjemahkan sebagai pemberdayaan dalam Bahasa Indonesia. Kalau demikian, maka definisi kerja pemberdayaan
seharusnya dirumuskan sebagai upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan/daya (power) pihak-pihak yang tidak atau kurang berdaya. Harus dipahami sebagai upaya untuk :
o
memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang individu
atau kelompok lain, dan
o
membiarkan mereka menguasai dan menggunakan kekuatan/daya (power)
tersebut di tangan mereka untuk tujuan dan kepentingan mereka.
Pemberdayaan juga bermakna
sebagai upaya distribusi-ulang (redistribusi) kekuatan/daya (power)
dari pihak yang memilikinya kepada pihak yang tidak atau kurang memilikinya.
Karena itu, suka atau tidak suka, pemberdayaan selalu mengandung
pengertian :
o
pengurangan atau pemindahan daya (power) atau upaya melakukan disempowerment/less
empowering pihak-pihak yang memiliki kekuatan/ daya (power),
o
penyerahan/penambahan daya (power)
kepada pihak-pihak yang diberdayakan (empowerment).
Hal tersebut tentu saja tidak selalu disukai oleh berbagai pihak,
termasuk pihak-pihak yang mengaku diri sebagai pemberdaya.
Dengan pemahaman tersebut di atas, pembahasan tentang pemberdayaan
setidaknya harus mencakup konsep dasar tentang kekuatan/daya (power) dan ketidakberdayaan
(ketidakberuntungan). Pembahasan
tentang pemberdayaan juga harus menyangkut dinamika hubungan antara berbagai
individu atau kelompok yang selalu bersaing untuk memperebutkan kekuatan/daya
(power) dan pengaruh karena secara pasti, kekuatan/daya (power)
selalu berhubungan dengan kekuasaan dan pengaruh.
Kesimpulannya
adalah, setiap pihak yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek yang
diakui mengandung muatan pemberdayaan, haruslah miliki pemahaman minimum
berkaitan dengan :
§
konsep kekuatan/daya (power) atau ‘power’ itu
sendiri,
§
upaya memberikan kekuatan/daya (power) kepada seseorang atau
sekelompok orang yang kurang atau tidak memilikinya,
§
mengijinkan orang atau sekelompok orang untuk menerima, memiliki dan
menggunakan kekuatan/daya (power),
§
mendistribusikan kembali kekuatan/daya (power) dari pihak
‘yang punya kekuatan/daya (power)’ kepada pihak ‘yang tidak punya
kekuatan/daya (power)’,
§
ada pihak yang memberikan kekuatan/daya (pemberdaya) dan yang
menerima kekuatan/daya (yang diberdayakan),
§ ada strategi, metoda dan substansi pemberdayaan.
Dengan demikian, pada setiap kegiatan ‘pemberdayaan
masyarakat’ atau ‘pemberdayaan komunitas’ harus dipahami bahwa
masyarakat atau komunitas ditempatkan sebagai pihak yang akan menerima
kekuatan/daya (power) atau yang diberdayakan; dan bersamaan
dengan itu sebuah program atau proyek, terutama para pelaksana program atau
proyek sebagai Si Pemberdaya.
Persoalannya adalah apakah semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan ‘proyek pemberdayaan’ telah memahami apa
itu pemberdayaan; apakah yang
menyebabkan komunitas menjadi tidak berdaya;
apakah yang harus diberikan kepada komunitas agar mereka menjadi lebih
berdaya; dan apakah akibat (konsekuensi)
yang harus ditanggung oleh para pemberdaya dalam keputusannya melakukan upaya
pemberdayaan.
C. Pandangan Tentang Kekuatan/Daya (Power)
Persaingan memperebutkan kekuatan dan pengaruh dapat terjadi di berbagai
tingkatan dan luasan pihak-pihak yang terlibat.
Ini dapat terjadi di antara tokoh-tokoh di suatu komunitas, antara
tokoh-tokoh/pemimpin suatu komunitas dengan kelompok atau anggota komunitas itu
sendiri, di antara para pemimpin partai politik, di antara partai-partai
politik dan seterusnya. Bahkan bukan
tidak mungkin terjadi persaingan memperebutkan kekuatan dan pengaruh antara
pekerja pengembangan komunitas dengan para tokoh di dalam komunitas.
Jelaslah bahwa kekuatan/daya (power) sangat menentukan kemampuan
seseorang atau kelompok untuk ‘bermain’ di dalam suatu sistem
persaingan. Ini menyangkut kemampuan
memahami ‘aturan main’ yang berlaku dan kemampuan mempengaruhi dan
memberi tekanan kepada pihak lain (pesaing) dalam kerangka ‘aturan
main’ itu.
Pandangan tentang pemberdayaan juga berhubungan dengan
pemahaman tentang demokrasi. Di dalam
suatu sistem yang demokratis idealnya setiap orang boleh mempunyai pandangan
dan pernyataan berbeda tentang sesuatu.
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk berpartisipasi dan setiap
orang idealnya mempunyai kekuatan yang sama karena demokrasi mempersyaratkan
distribusi kekuatan secara merata kepada semua orang.
Pandangan sederhana tentang upaya pemberdayaan yang
hanya berusaha untuk mengajari orang agar mampu bermain di dalam sistem (aturan
main) yang ada, sama dengan begitu saja menganggap bahwa semua sistem yang ada
sudah benar. Padahal kenyataannya banyak
sistem (aturan main) yang memang dirancang ‘berat sebelah’ agar pihak
lain tidak dapat menampilkan ‘kemampuan terbaiknya’ untuk ikut bermain
di dalam ‘aturan main’ itu.
Karena itu mereka tetap menjadi pihak
yang tidak beruntung, yang
lemah atau yang tidak berdaya.
Aturan main umumnya menyangkut struktur; dan struktur yang menekan (oppresive
structure) adalah bagian dari penyebab ketidakberdayaan (ketidakberuntungan).
Dalam kondisi demikian inilah pemberdayaan tidak dapat dilakukan dengan
tetap menerima struktur dan aturan main yang ada tetapi harus mengubahnya.
Pandangan lain tentang kekuatan dan pengaruh
menitik-beratkan pada pentingnya pemahaman tentang ketidak-adilan
struktural. Dalam pandangan ini para
elite dianggap sebagai perwakilan dari orang banyak. Struktur yang tidak adil tidak saja dapat
terjadi antara para elite (di hirarki teratas) dengan orang kebanyakan (di
dasar hierarki), tetapi dapat juga dalam bentuk struktur diskriminatif berbasis
jender, ras dan warna kulit dan antara mayoritas dan minoritas. Dalam pandangan ini pemberdayaan hanya dapat dilakukan dengan menghapus
semua struktur yang tidak adil.
Bagi para elite, permainan kekuatan dan pengaruh (politik) bukan ‘arena’
di mana setiap orang dapat ikut bermain dan masing-masing mempunyai kesempatan
yang sama untuk ‘menang’. Para elite
selalu berusaha untuk memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar dari pada
orang kebanyakan. Ini diupayakan melalui
proses pengambilan keputusan. Sangat
umum di manapun, para elite terus-menerus berusaha mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang ‘sedikit/banyak’ akan menguntungkan mereka
dalam mempertahankan kekuatan dan pengaruh yang sudah mereka miliki. Para elite memandang bahwa masyarakat itu
tersusun secara hirarkis.
Mengingat pandangan para elite terhadap kekuatan dan
pengaruh seperti yang telah diuraikan, maka upaya-upaya pemberdayaan haruslah
juga menyangkut peningkatan keterampilan berpolitik, pengembangan aliansi (asosiasi) dan upaya-upaya mempengaruhi para elite itu sendiri dalam
proses pengambilan keputusan, serta upaya-upaya yang lebih mendasar yaitu
perjuangan mengubah sistem yang tidak sesuai.
Pandangan terakhir tentang kekuatan/daya (power)
justru menitik-beratkan pada pemahaman tentang kekuatan/daya (power) itu
sendiri, penggunaan bahasa dalam mendefinisikan dan memberlakukan kekuatan dan
pengaruh, definisi dan akumulasi pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu
dibangun. Contoh untuk ini misalnya
tidak diakuinya pengetahuan tradisional tentang kehutanan mengakibatkan
cara-cara tradisional dalam pengelolaan hutan menjadi tidak diakui karena
dianggap tidak ilmiah. Contoh lain, seorang
sarjana utama (S3) orang Indonesia kurang kesempatan memasuki pasar kerja
karena ada persyaratan kemampuan berbahasa Inggeris yang tidak dimilikinya,
sekalipun kemampuan akademiknya untuk bidang pekerjaan yang ditawarkan tidak
lebih rendah atau mungkin lebih tinggi daripada orang lain. Dalam hal demikian maka sarjana Indonesia ini
menjadi pihak yang tidak beruntung (tidak berdaya) hanya karena tidak dapat
berbahasa Inggris.
D. Untuk
Apa Kekuatan/Daya (Power) ..?
Setelah membahas
berbagai pandangan tentang kekuatan/daya (power) maka pertanyaan
berikutnya adalah untuk apa sesungguhnya kekuatan/daya (power) tersebut
dibutuhkan. Atau dengan kata lain, untuk
hal apa seseorang, kelompok atau masyarakat perlu memiliki kekuatan. Pertanyaan ini penting karena tentu saja ada
kekuatan yang sungguh-sungguh tidak diperlukan (bahkan tidak boleh ada)
terutama dalam kaitan dengan keadilan sosial. Kekuatan yang tidak boleh ada tersebut
misalnya : kekuatan untuk memeras
(mengeksploitasi) orang lain, kekuatan untuk membiayai provokasi dan
pertikaian, kekuatan untuk merusak lingkungan dan sebagainya.
Berikut ini akan
dibahas berbagai kebutuhan dasar di mana kekuatan/daya (power)
benar-benar diperlukan.
1. Kekuatan/daya (power) untuk
menentukan pilihan pribadi dan kesempatan untuk hidup
Banyak orang yang tidak berdaya untuk menentukan masa depannya
sendiri. Tidak berdaya menentukan gaya hidupnya sendiri,
tempat kediaman dan kedudukan atau pekerjaan sesuai dengan keinginannya. Dalam kategori ini juga termasuk ketidakberdayaan
atas tubuhnya sendiri; untuk menentukan
jenis kelamin dan tingkat kesehatan yang diinginkan. Pilihan-pilihan yang berkenaan dengan hal ini
umumnya ditentukan oleh faktor-faktor struktural.
Akibat terparah dari kemiskinan adalah ketidakberdayaan karena orang
miskin hanya memiliki sedikit pilihan sempit dan lebih banyak lagi yang tidak
mempunyai pilihan sama sekali.
Struktur patriarchat (garis bapak) umumnya mengakibatkan para
perempuan tidak berdaya menentukan pilihan pribadi atas berbagai hal. Norma-norma budaya tertentu juga membatasi kekuatan
seseorang untuk menentukan pilihan-pilihan pribadinya. Pemberdayaan hendaknya menyakup upaya untuk
meningkatkan kemampuan dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi, kelompok,
komunitas atau masyarakat.
2. Kekuatan/daya (power) untuk menentukan kebutuhan
Salah satu ciri-ciri masyarakat moderen
adalah adanya kediktatoran dalam merumuskan dan mendefinisikan
kebutuhan. Diktator-diktator
ini umumnya adalah para perencana, birokrat, konsultan, elite,
manajer, orang-orang yang menyebut dirinya atau disebut sebagai ahli
dan profesional, serta badan-badan penyalur bantuan pembangunan (lembaga
donor), bahkan para pekerja pengembangan komunitas.
Karena di dalam menentukan dan
menyatakan kebutuhan sedikit-banyak diperlukan pengetahuan, keterampilan dan
informasi; maka substansi peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan informasi yang diperlukan dalam menentukan dan
mendefinisikan kebutuhan hendaklah menjadi bagian dari setiap proses
pemberdayaan.
3. Kekuatan/daya
(power) untuk mengeluarkan gagasan
Banyak kasus di mana orang menjadi tidak berdaya mengungkapkan pikiran dan
gagasan. Situasi ini umumnya terjadi
karena adanya suatu kekuasaan ‘kultur dominan’ di masyarakat. Seseorang yang menyatakan gagasan yang berbeda
dari kelumrahan orang banyak disebut ‘nyeleneh’, melawan arus,
tidak masuk akal, dan bahkan sering dicap sebagai ‘orang gila’.
Mempetimbangkan hal di atas, maka pemberdayaan harus pula mengandung
upaya-upaya untuk secara konsisten menguji sesuatu yang secara umum dianggap
sebagai kelumrahan, mendorong dan memberi kesempatan otonomi berpikir, serta
memelihara konsistensi untuk selalu bersedia mendengarkan dan memperhitungkan
gagasan-gagasan baru. Untuk ini tidak ada
instrumen lain kecuali pendidikan dalam arti yang luas.
4. Kekuatan/daya (power) untuk memanfaatkan
kelembagaan/institusi yang ada
Tidak dapat disangkal bahwa penyebab
utama ketidakberdayaan adalah pengaruh dari institusi-institusi (kelembagaan)
yang ada, seperti sistem pendidikan, sistem demokrasi, sistem dan struktur
pemerintahan, sistem kesejahteraan sosial dan sebagainya.
Pemberdayaan
harus menyangkut peningkatan kemampuan komunitas untuk bermain di dalam
institusi-institusi tersebut dan bahkan peningkatan kemampuan untuk
mempengaruhi dan mengubah institusi (kelembagaan) yang ada jika perlu.
5. Kekuatan/daya (power) untuk menjangkau dan
memanfaatkan sumberdaya
Sebagian besar orang tidak mempunyai
daya jangkau (akses) terhadap berbagai sumberdaya seperti : teknologi dan ilmu pengetahuan, pen-didikan,
rekreasi, budaya, finansial dan bahkan sumberdaya alam. Karena itu pemberdayaan harus mengandung
upaya memampukan orang untuk memperoleh berbagai sumberdaya tersebut dan
upaya-upaya yang konsisten untuk menghapus berbagai hambatan distribusi
sumberdaya itu.
6. Kekuatan/daya
(power) untuk melakukan kegiatan ekonomi
Mekanisme dasar
produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa sangat vital bagi
masyarakat manapun. Agar memiliki
kekuatan di dalam masyarakat yang demikian, setiap orang harus mampu
mengendalikan dan menjangkau mekanisme tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis moderen ada ketidakseimbangan
(ketidakadilan) dalam mekanisme ini.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab utama ketidak-berdayaan.
Pemberdayaan harus pula mengandung upaya-upaya agar mekanisme distribusi
sumberdaya ekonomi tersebut agar menjadi semakin merata.
7. Kekuatan/daya
(power) untuk bereproduksi (meneruskan keturunan)
Sepenting mekanisme produksi, proses reproduksi juga menjadi hal yang
sangat penting bagi setiap masyarakat.
Pengendalian proses reproduksi, dalam hal ini tidaklah sebatas yang
berkaitan dengan kelahiran, tetapi juga menyangkut mengasuh dan membesarkan
anak, pendidikan dan sosialisasi. Selain itu juga
termasuk semua mekanisme di mana tatanan sosial, ekonomi dan politik
direproduksi untuk generasi yang akan datang.
Kekuatan untuk bereproduksi tidak terdistribusi secara merata di dalam
masyarakat karena berbagai penghambat.
Penyebabnya lagi-lagi diskriminasi berbasis, ras, golongan, jender dan
kelas. Kategori ini juga berhubungan
erat dengan kekuatan untuk menentukan pilihan pribadi dan kekuatan mengemukakan
gagasan seperti yang telah dibahas di muka.
E. Peringatan Untuk Para Pemberdaya..!!!
Kesukariaan kebebasan sejak perubahan politik yang begitu
cepat di Indonesia setelah ‘reformasi’ nampaknya telah mengakibatkan semua
orang begitu enteng menyatakan apa saja.
Nampaknya tak banyak orang butuh terlebih dahulu memahami makna sesuatu
sebelum mengatakan bahkan sebelum meneriakkannya. Banyak kata kehilangan makna dan banyak makna
salah terapan. Kondisi ini sudah terjadi
bahkan sejak ‘masa Orde Baru’, di mana negara pada saat itu bertindak sebagai
agen tunggal pemberian penafsiran terhadap setiap kata dan istilah yang
dikembangkan.
Pada saat sekarang semua orang merasa bebas, dan ini
sering diwujudkan dalam bentuk ‘kebablasan’, terutama dengan sikap seenaknya
mengatakan, memberi arti dan bertindak tanpa peduli makna.
Pemberdayaan adalah salah satu di antara sekian banyak istilah
yang mengalami ‘nasib buruk’ di jaman reformasi ini. Sama buruknya dengan nasib istilah ‘reformasi’
itu sendiri, sampai-sampai tindakan anarkispun sudah di-claim sebagai
tindakan reformasi. Begitu mudah orang
mengucapkan ‘pemberdayaan’;
begitu mudah orang mengaku telah melakukan upaya pemberdayaan; begitu mudah orang mengaku bahwa tindakan
yang dilakukannya adalah suatu pemberdayaan.
Karena itu, sangat dianjurkan agar setiap pihak yang
mengaku dirinya sebagai ‘Pemberdaya’ lebih berhati-hati mengucapkan
istilah ini, dan terlebih penting lagi agar lebih berhati-hati mengaku diri
telah melakukan upaya pemberdayaan, atau mengaku diri sebagai seorang ‘Pemberdaya’. Setidaknya kehati-hatian ini diharapkan
dengan :
1. Berupaya lebih memahami makna dan
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pemberdayaan. Untuk itu, diharapkan tulisan ini dapat
membantu;
2. Melalui pemahaman atas makna pemberdayaan,
setiap orang yang mengaku diri sebagai ‘Pemberdaya’ menyadari bahwa
upaya pem-berdayaan yang dilakukannya selalu membawa konskuensi balik kepada
dirinya sendiri. Konsekuensi balik ini
justru terjadi jika upaya pem-berdayaan itu berhasil. Hal ini logis karena pemberdayaan mengandung
makna pemindahan kekuatan (power) dari yang memilikinya (dari Si
Pemberdaya) kepada yang kurang dan yang tidak memilikinya (kepada Yang
Diberdayakan). Dengan demikian,
membayangkan kekuatan (power) sebagai sesuatu yang bersifat material,
berarti seorang Pemberdaya yang berhasil justru akan semakin kehilangan
kekuatan (power). Ini sering
tidak terlalu mudah bagi sebagian besar orang.
3. Konsisten mempertanyakan kepada diri
sendiri; untuk memberdayakan pihak lain,
apakah yang harus diberikan..? Atau,
jika mengaku diri telah melakukan upaya pemberdayaan, apakah yang sudah
diberikan kepada pihak Yang Diberdayakan itu…? Adalah sesuatu yang “omong kosong”
jika seseorang mengaku diri sebagai seorang Pemberdaya, sementara
dirinya sendiri tidak dapat menunjukkan apa saja yang sudah diberikan kepada
pihak Yang Diberdayakannya.
Setelah membahas tentang daya/kekuatan (power),
pertanyaan kritis berikutnya adalah apakah yang membuat seseorang, satu
kelompok atau satu pihak menjadi lebih berdaya daripada orang, kelompok atau
pihak lain..? Apakah saja sumber-sumber
daya/kekuatan (sources of power) yang harus diberikan oleh setiap orang
yang mengaku dirinya sebagai pemberdaya kepada orang (pihak) yang
diberdayakannya..?
CATATAN : Bedakan penyebutan sumberdaya (resource)
dengan sumber daya (source of power).
F. Sumber-sumber
Daya/Kekuatan (Sources of Power)
Seseorang akan menjadi lebih berdaya
daripada orang lain jika dia memiliki salah satu, beberapa dan/atau semua
sumber daya/kekuatan (sources of power) sebagai berikut :
1. Kewenangan formal
Daya/kekuatan (power) yang
dimiliki oleh seseorang atas orang lain karena memiliki kewenangan formal. Dengan kata lain, seseorang menjadi lebih
berdaya dari orang lain karena memiliki kewenangan formal yang mengatur
hubungan interaksi antara keduanya.
Contohnya, seorang guru lebih berdaya daripada para siswanya karena guru
atas nama sekolah memiliki kewenangan formal untuk memberikan nilai evaluasi
kemajuan belajar para siswa. Contoh
lainnya setiap atasan lebih berdaya daripada para bawahan-nya karena para
atasan tersebut memiliki kewenangan untuk memberi penilaian atas kinerja para
bawahan.
2. Sanksi
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki
oleh seseorang yang bersumber dari adanya sanksi yang dapat
diberlakukan/diberikan kepada pihak lain dalam kaitan dengan hubungan interaksi
antara keduanya. Seseorang lebih berdaya
daripada pihak lain karena ada ancaman sanksi yang dapat diberikan kepada salah
satu pihak. Contohnya, para pelanggan
telepon, listrik dan air bersih tidak berdaya terhadap PLN, PT. Telkom dan PDAM
karena adanya ketentuan sanksi pemutusan aliran listrik, sambungan telepon dan
air minum jika pelanggan terlambat menyelesaikan pembayaran rekening.
3. Informasi
Daya/kekuatan (power)
yang dimiliki oleh seseorang atau satu pihak atau kelompok karena mengusasi
informasi (informasi penting) tertentu yang berkaitan dengan hubungan antara
keduanya. Contohnya, seorang warga
masyarakat tidak berdaya menolak membayar biaya yang cukup tinggi kepada oknum
Kelurahan untuk memperoleh KTP, karena dia tidak memiliki informasi akurat
tentang ketentuan biaya pembuatan KTP yang sesungguhnya sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
4. Pengetahuan
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki oleh seseorang karena dia
memiliki pengetahuan tertentu yang sangat penting dalam kaitan dengan hubungan
dengan pihak lain. Dalam keseharian,
memiliki pengetahuan sama dengan pintar dan tidak memiliki pengetahuan sama
dengan bodoh. Orang pintar selalu
lebih berdaya daripada orang bodoh.
Pepatah dalam Bahasa Inggris mengatakan : “Knowledge is Power”.
5. Keterampilan
Seseorang memiliki daya/kekuatan (power)
karena memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan/atau tidak dimiliki
oleh pihak lain. Jika sebuah lowongan
pekerjaan terbuka dan pekerjaan itu memerlukan keterampilan tertentu, maka
orang yang memiliki keterampilan paling tinggi untuk itu akan lebih berdaya
dalam memenangi persaingan untuk mengisi lowongan tersebut. Contoh lain, seseorang yang memiliki
keterampilan khusus dan tinggi lebih berdaya menentukan proses produksi suatu
perusahaan daripada pemilik perusahaan itu sendiri.
6. Asosiasi (kolektivitas/kebersamaan)
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki
sekelompok orang karena kekompakan (kebersamaan di antara mereka). Sekelompok orang yang bersatu-padu akan lebih
berdaya karena potensi mereka terkonsentrasi.
Para buruh menggunakan kebersamaan
mereka dalam serikat buruh untuk mengimbangi power manajemen
perusahaan karena kewenangannya.
Pemogokan adalah upaya mengkombinasikan kekuatan buruh karena keterampilan
yang mereka miliki dengan kekuatan yang bersumber dari adanya asosiasi/kebersamaan
yang mereka untuk melawan kekuatan yang dimiliki oleh Manajemen dan Pemilik
Perusahaan. Dengan pemogokan, para
buruh menggunakan keterampilan dan asosiasi untuk membuat
gangguan (nuisance) pada proses produksi perusahaan.
7. Gangguan (nuisance)
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki karena adanya kemampuan
seseorang (pihak) untuk membuat gangguan (nuisance). Dengan pemogokan, para buruh membuat gangguan
pada proses produksi sehingga Manajemen dan Pemilik Perusahaan menjadi tidak
berdaya untuk menolak tuntutan kenaikan upah, meskipun merekalah yang punya
kewenangan untuk itu.
8. Moral
Daya/kekuatan (power) yang dimiliki
oleh seseorang karena dipandang memiliki moral yang baik. Orang yang bermoral baik adalah orang yang
secara konsisten mematuhi dan bahkan memelihara nilai-nilai, norma, aturan yang
diakui bersama. Dalam hal ini orang yang
bermoral baik tersebut lebih berdaya bukan karena ditakuti tetapi karena
disegani. Contoh : para santri tidak berdaya menentang para
kiyai pemimpin pondok pesantren karena diyakini dan dirasakan bahwa Sang Kiyai
tersebut memiliki moralitas yang tinggi.
9. Kharisma (wibawa)
Daya/kekuatan (power) yang
dimiliki oleh seseorang karena dia memiliki kharisma (wibawa) yang besar. Perintah, himbauan, ajuran dari seorang yang
kharismatik cenderung diikuti oleh banyak orang tanpa banyak tanya. Dengan kata lain, orang memiliki kharisma
(wibawa) mampu menempatkan orang-orang lain di bawah kepemimpinannya dan
menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu.
10. Ekonomi
Daya/kekuatan (power) yang
dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang karena memiliki, menguasai dan
mengendalikan sumberdaya ekonomi yang dibutuhkan oleh orang atau pihak lain
(finansial, bahan baku,
proses dan peralatan produksi serta distribusi barang dan jasa). Seorang yang memiliki cukup banyak uang akan
memiliki sejumlah pilihan yang lebih besar atas berbagai alternatif yang
mungkin. Bahkan ada orang yang
mengatakan; “Uang berkuasa..!”.
Orang miskin memiliki pilihan yang sempit dan bahkan sering tidak punya
pilihan alternatif. Karena itu
kemiskinan adalah salah satu bentuk dan sekaligus sumber ketidak-berdayaan.
11. Persistensi
Daya/kekuatan (power) yang
dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok yang disebabkan karena telah lama
secara terus-menerus memiliki dan menguasai daya/kekuatan (power) itu
sendiri. Sudah jadi rumus umum bahwa
semakin lama seseorang berkuasa semakin sulit dia dilepaskan/ ditumbangkan dari
kekuasaan itu. Secara umum setiap orang
yang sedang berkuasa akan cenderung berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya
itu dengan segala cara.
Alasan lain adalah bahwa secara umum
akan lebih mudah mem-pertahankan apa yang sudah ada (lebih mudah mempertahankan
status quo) daripada membuat perubahan.
Itulah sebabnya mengapa suatu keadaan yang sudah persisten (sudah
berlangsung lama) umumnya lebih berdaya daripada arus perubahan yang ingin
menggantikannya. Karena itu sesuatu yang harus persisten adalah perubahan itu sendiri, atau
perubahan yang terus menerus. Perubahan
terus-menerus inilah yang kita sebut sebagai transformasi.
Contoh aktual untuk kasus di atas adalah betapa tidak berdayanya Reformasi
menggerakkan perubahan karena Anti-reformasi sudah begitu persisten dan
lebih menginginkan status quo.
Betapa sulit dan besarnya pengorbanan untuk mengganti Mantan Presiden Soeharto dengan orang
lain karena kekuatan Soeharto sudah
sempat persisten. Itulah sebabnya
mengapa pembatasan masa jabatan tertentu di dalam suatu organisasi diperlukan
untuk mencegah persistensi kekuatan yang cenderung mengakumulasi di tangan satu
atau sekelompok orang.
G. Berbagai Pilihan Strategi Pemberdayaan
Pilihan-pilihan strategi pemberdayaan dapat ditentukan
berbasis pada solusi yang harus dilakukan berdasarkan anggapan terhadap
persoalan-persoalan sosial, berbasis pada pandangan (perspektif) terhadap
daya/kekuatan (power) itu sendiri dan berbasis pada pertimbangan atas
sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power) yang perlu diberikan
kepada pihak yang ingin diberdayakan.
Berikut ini adalah ringkasan berbagai usulan solusi atas
berbagai persoalan sosial jika ditinjau dari berbagai pandangan dan anggapan
terhadap ketidak-berdayaan dan sumber-sumber penyebab ketidakadilan sosial (Tabel
1).
Tabel 1. Pandangan
dan anggapan terhadap sumber penyebab ketidakberdayaan dan ketidakadilan
sosial.
Perspektif
|
Yang
disalahkan
|
Anggapan
tentang persoalan
|
Penyelesaian
(solusi).
|
Individual
|
Yang salah
adalah
si korban
|
Penyakit
individu, psikologis, biologis, kekurangan moral/
karakter
|
Terapi, perlakuan medis, perbaikan perilaku,
pe-nasehatan, pengawasan.
|
Reformis
Ke-lembagaan
|
yang salah
adalah
si penolong
|
Kelembagaan
yang di-kembangkan untuk meng-atasi masalah :
peradilan, sekolah, dinas/departemen sosial.
|
Perubahan kelembagaan, penambahan sumberdaya,
peningkatan pelayanan, pelatihan petugas, dan sebagainya.
|
Struktural
|
yang salah
adalah sistem.
|
Ketidakberuntungan
struktural/tekanan struktural :
ras/etnis,
agama, jender, kelas, distribusi pendapatan, distribusi kekuatan (power) dan
sebagainya.
|
Perubahan
struktural, meng-ubah basis tekanan, gerakan pembebasan, revolusi dan
sebagainya.
|
Post/Pasca-
struktural
|
yang salah
adalah
wacana yang ber-kembang.
|
Modernitas, bahasa, pem-bentukan dan akumulasi
pengetahuan, pemahaman bersama.
|
Analisis dan pemahaman tentang wacana yang ber-kembang,
akses terhadap pemahaman, menguji per-aturan yang ada dan se-bagainya.
|
Berdasarkan
ringkasan di atas dapat diberikan masing-masing satu contoh sebagai berikut :
1. Kalau
seseorang seringkali terlalu banyak alasan untuk membayar pinjaman yang sudah
jatuh tempo; dia akan tidak dipercaya
lagi untuk memperoleh pinjaman sekalipun dia sangat membutuhkannya. Dia menjadi korban (tidak berdaya) menjangkau modal
karena kesalahannya sendiri. Agar dia
berdaya kembali, upaya yang harus dilakukan adalah memperbaiki kelakuan misalnya
melalui penasehatan (konseling).
2. Jika banyak orang jadi pengangguran dan
jadi pengemis di jalanan, yang salah (yang jadi sumber masalah) adalah
Dinas/Departemen Sosial dan peraturan perundang-undangan yang
membentuknya. Solusinya adalah perbaikan
Dinas/Departemen Sosial melalui penataan organisasi, pelatihan pegawai,
penambahan anggaran, perubahan peraturan per-undang-undangan tentang
Dinas/Departemen Sosial, dan sebagainya.
3. Jika ada orang miskin karena diperlakukan
diskriminatif karena dia keturunan rakyat jelata, maka yang salah (yang jadi
sumber masalah) adalah adanya struktur kelas di masyarakat. Solusinya adalah manghapus struktur itu.
Menghapus sistem kelas di dalam masyarakat.
4. Kalau
ada orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan cukup tetapi tidak mampu
berkomunikasi dalam bahasa tertentu, dan karena itu dia tidak memperoleh
kesempatan kerja, maka yang salah (yang jadi sumber masalah) adalah wacana
penggunaan bahasa itu. Solusinya adalah
menganalisis dan memahami wacana penggunaan bahasa, mem-buka akses terhadap
pemahaman dan mengubah peraturan untuk menghambat wacana yang berkembang.
Berbasis pada
cara pandang terhadap masyarakat dan daya/kekuatan (power), maka
beberapa strategi pemberdayaan yang mungkin dilakukan dapat diringkas
sebagaimana pada tabel pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa
pilihan strategi pemberdayaan berdasarkan pandangan ter-hadap masyarakat dan
daya/kekuatan (power).
Perspektif
|
Pandangan
terhadap
masyarakat
|
Pandangan
terhadapdaya/kekuatan
(power)
|
Strategi
Pemberdayaan
(solusi).
|
Pluralis
|
Persaingan
kepentingan antar kelompok dan individu.
|
Kapasitas untuk memenangi persaingan,
kalah/menang.
|
Membelajari
individu atau kelompok agar mampu bersaing di dalam peraturan yang berlaku.
|
Elite
|
Jumlah
kebanyak-an dikendalikan oleh sejumlah kecil elite.
|
Sebagian besar dipegang oleh para elite melalui
kepemilikan dan kendali atas institusi/kelembagaan utama yang dominan.
|
Bersatu mempengaruhi elite, membangun aliansi dengan
para elite, melawan dan mengubah para elite.
|
Struktural
|
Berjenjang secara hierarkis sesuai dengan struktur
yang menekan.
|
Dimiliki
oleh kelompok dominan melalui struktur yang bersifat menekan.
|
Pembebasan,
perubahan struktural secara mendasar, menentang setiap struktur yang bersifat
menekan.
|
Post/Pasca
struktural
|
Dibentuk oleh konstruksi pengertian, pemahaman, bahasa,
akumulasi dan kendali atas pengetahuan.
|
Dikuasai melalui kendali atas wacana, konstruksi
pengetahuan dan sebagainya.
|
Mengubah wacana, membangun pemahaman subyektif yang
baru, pendidikan yang membebaskan.
|
Kondisi ketidakberdayaan dan ketidakadilan sosial dari
berbagai perspektif seperti yang sudah diuraikan, semuanya sesuai dengan fakta
yang dapat dicermati di masyarakat Indonesia sekarang ini. Karena itu strategi yang diajukan untuk penyelesaian
masalah dan pilihan strategi pemberdayaan komunitas yang diusulkan memiliki
potensi aplikasi. Dengan demikian, makin
jelas bahwa upaya pemberdayaan harus menggunakan multi-strategi, dan karena itu
pemberdayaan komunitas tidak dapat dilakukan dalam fenomena tertutup (enclave).
Strategi dan instrumen pemberdayaan komunitas yang lebih
konkrit dapat dirumuskan berdasarkan sumber-sumber daya/kekuatan (sources of
power) yang idealnya harus diberikan agar seseorang atau kelompok agar
dapat menjadi lebih berdaya. Secara ringkas berbagai pilihan strategi
tersebut dipaparkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Beberapa
strategi dan instrumen pemberdayaan yang dapat digunakan berdasarkan
sumber-sumber daya/kekuatan (sources of power).
No.
|
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources
of power)
|
No.
|
Strategi
(Instrumen) Pemberdayaan
Yang
Dapat Digunakan Oleh
Para
Pekerja Pengembangan Komunitas
|
1.
|
Kewenangan formal.
|
1.1.
|
Kurangi/serahkan
kewenangan formal yang melekat pada setiap tugas dan fungsi secara bertahap
kepada komunitas, seiring dengan meningkatnya (perkembangan) kemampuan
komunitas.
|
1.2.
|
Distribusikan
kewenangan penentuan berbagai proses, mekanisme dan prosedur dalam
pelaksanaan kegiatan komunitas kepada individu, kelompok dan/atau unsur-unsur
di dalam komunitas.
|
||
1.3.
|
Hindari
pembentukan organisasi yang menonjolkan struktur hierarkis. Upayakan organisasi miskin struktur, kaya
fungsi.
|
||
1.4.
|
Dorong demokratisasi maksimum dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
|
||
1.5.
|
Waspadai
penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) oleh diri sendiri maupun
oleh komunitas.
|
||
1.6.
|
Tingkatkan
kemampuan komunitas melakukan peng-awasan (social control) atas pelaksanaan
kewenangan.
|
||
2.
|
Sanksi
|
2.1.
|
Jangan
pernah menggunakan sanksi kecuali untuk pe-langgaran berat dalam rangka memperbaiki
perilaku menyimpang dan menegakkan disiplin.
|
2.2.
|
Waspadai
penyalah-gunaan wewenang (abuse of power) oleh diri sendiri
maupun oleh komunitas, karena kecenderungan terlalu mudah (ringan tangan)
menjatuh-kan sanksi.
|
||
2.3.
|
Hindari diterbitkannya peraturan yang sarad sanksi
miskin persuasi, dorongan dan motivasi.
|
No.
|
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources
of power)
|
No.
|
Strategi
(Instrumen) Pemberdayaan
Yang
Dapat Digunakan Oleh
Para
Pekerja Pengembangan Komunitas
|
3.
|
Informasi
|
3.1.
|
Tingkatkan
kemempanan komunikasi.
|
3.2.
|
Intensifkan
penyediaan sumberdaya informasi.
|
||
4.
|
Pengetahuan
|
4.1.
|
Intensifkan
penyediaan sumberdaya informasi.
|
4.2.
|
Laksanakan pendidikan dan pelatihan secara konsisten.
|
||
5.
|
Keterampilan
|
5.1.
|
Intensifkan
penyediaan sumberdaya informasi.
|
5.2.
|
Laksanakan pendidikan dan pelatihan secara konsisten.
|
||
6.
|
Asosiasi
(kolektivitas/ kebersamaan)
|
6.1.
|
Lakukan
pengorganisasian dengan baik.
|
6.2.
|
Lakukan
pengelolaan kelompok dengan baik.
|
||
6.3.
|
Lakukan pengelolaan pengaduan dengan baik.
|
||
6.4.
|
Lakukan
pengelolaan konflik dengan baik.
|
||
6.5.
|
Usahakan
mencapai mufakat (konsensus) optimum dalam setiap proses pengambilan
keputusan.
|
||
6.6.
|
Upayakan
partisipasi aktif dalam setiap proses dan pelaksanaan kegiatan.
|
||
6.7.
|
Tingkatkan energi sosial dan kembangkan modal sosial
kelompok dan komunitas.
|
||
7.
|
Gangguan/nuisance.
|
7.1.
|
Lakukan pengorganisasian dengan baik (dalam arti
pengorganisasian kesadaran, tujuan, dan potensi kolektif komunitas).
|
7.2.
|
Indentifikasi masalah, ancaman, dan tantangan yang
dihadapi bersama secara partisipatif.
|
||
7.3.
|
Lakukan
pengelolaan kelompok dengan baik.
|
||
7.4.
|
Lakukan
pengelolaan konflik dengan baik.
|
||
7.5.
|
Usahakan
mencapai mufakat (konsensus) optimum dalam setiap proses pengambilan
keputusan.
|
||
7.6.
|
Upayakan
partisipasi aktif dalam setiap proses dan pelaksanaan kegiatan.
|
||
7.7.
|
Fasilitasi komunitas agar secara konsisten melakukan
evaluasi (aksi-refleksi-aksi) setiap kali menyelesaikan satu kegiatan.
|
||
7.8.
|
Identifikasi
sasaran secara tepat, buat gangguan hanya sebagai tindakan awal – bukan
menerus.
|
||
8.
|
Moral
|
8.1.
|
Identifikasi norma, nilai-nilai dan aturan positif yang
berlaku di dalam komunitas.
|
8.2.
|
Gunakan norma, nilai-nilai dan aturan positif yang
ber-laku di dalam komunitas secara konsisten dan partisipatif untuk menilai
setiap perilaku.
|
||
8.3.
|
Sediakan
penasehatan (konseling) bagi setiap penurun-an kadar moralitas sejak dini
(mulai gejala paling kecil).
|
||
8.4.
|
Terapkan sanksi secara cermat, tepat dan tanpa kecuali
terhadap setiap penyimpangan perilaku yang parah (pelanggaran berat).
|
||
9.
|
Kharisma
|
9.1.
|
Pelihara konsistensi pelaksanaan setiap proses dan
tindakan pemeliharaan moralitas (8.1 s/d 8.4).
|
9.2.
|
Hindari penggunaan kharisma yang berlebihan dan negatif
karena dapat menyebabkan pelemahan dan hambatan komunikasi di dalam komunitas
serta pelemahan.
|
No.
|
Sumber-sumber
daya/kekuatan
(sources
of power)
|
No.
|
Strategi
(Instrumen) Pemberdayaan
Yang
Dapat Digunakan Oleh
Para
Pekerja Pengembangan Komunitas
|
10.
|
Ekonomi
|
10.1.
|
Indentifikasi struktur komunitas berdasarkan tingkat
dan distribusi penguasaan sumberdaya ekonomi.
|
10.2.
|
Tingkatkan
kesadaran dan kepedulian para elite ekonomi komunitas akan masalah ekonomi
yang dialami oleh kelompok yang tidak mampu di dalam komunitas.
|
||
10.3.
|
Tingkatkan
kesadaran kritis kelompok yang tidak mampu akan ketidakmampuan mereka
sendiri.
|
||
10.4.
|
Lakukan
pengorganisasian kelompok yang tidak mampu untuk mengatasi kemiskinan mereka
sendiri.
|
||
10.5.
|
Fasilitasi
kegiatan ekonomi produktif untuk kelompok yang tidak mampu dalam rangka
mengatasi kemiskinan mereka sendiri.
|
||
10.6.
|
Galang
partisipasi aktif para elite ekonomi dalam mem-fasilitasi kegiatan ekonomi
produktif untuk kelompok yang tidak mampu.
|
||
11.
|
Persistensi
|
11.1.
|
Dorong pemberlakuan pembatasan masa jabatan di setiap
organisasi yang ada di dalam komunitas.
|
11.2.
|
Dorong
agar setiap anggota komunitas berpartisipatif aktif dalam setiap proses dan
kegiatan.
|
||
11.3.
|
Hindari
pemberlakuan prinsip-prinsip demokrasi per-wakilan dalam proses pengambilan
keputusan, dorong pemberlakuan prinsip-prinsip demokrasi partisipatif;
ter-utama pada proses seleksi dan rekrutmen pemimpin lokal.
|
||
11.4.
|
Tingkatkan kemampuan komunitas dalam melakukan
pengawasan (social control) atas pelaksanaan kewenangan oleh ara elite.
|
||
11.5.
|
Hindari
pola kaderisasi kepemimpinan lokal komunitas yang berbasis senioritas dan
kharisma, dorong ke arah merit system (berbasis kemampuan).
|
||
11.6.
|
Tingkatkan kesadaran bahwa satu-satunya yang harus
persisten dan menerus adalah perubahan itu sendiri. Perubahan yang menerus
inilah yang disebut sebagai transformasi.
|
H. Sisi
Pedih Pemberdayaan (The Bitter-side of Empowerment)
Setiap orang yang
memilih, terpilih, bahkan yang terpaksa bekerja dan terlibat di dalam
program/proyek yang bermuatan pemberdayaan komunitas, memperoleh
sebutan/predikat/gelar yang ‘gagah’ penuh prestise
sebagai Sang Pemberdaya. Setiap
orang, terutama yang menyebut dirinya sebagai Pemberdaya hendaknya
menyempatkan diri mencermati kembali rumus Abraham Maslow dan Ronggowarsito
tentang piramida kebutuhan manusia pada Gambar 1.
Sedikit sekali
orang yang sampai pada tahapan puncak pencarian kebutuhan, yaitu Meta
Motivasi (Pandita) - orang yang sudah tidak lagi mencari Aktualisasi
Diri (Kukila) dan Prestise/Rasa Bangga (Turangga),
tetapi yang sudah mencari jalan bertemu dengan Khaliknya (her/his
Creator). Saudara-saudara yang
beragama Islam menyebutnya, mencari dan mendekatkan diri ke jembatan
menuju surga.
Kebanyakan orang
berada di salah satu tahap pemenuhan kebutuhan antara Level-1 - Level-4. Bahkan karena ego yang merajai,
kebanyakan orang (termasuk para Pemberdaya) berada di keempat level
pertama itu sekaligus. Tak puas-puas
dipuji dan dihormati, tak puas-puas dilayani, tak pernah merasa aman sekalipun
depositonya telah menunjukkan angka fantastis dan bahkan tak pernah merasa
kenyang akan berbagai makanan sedap dan berbagai bentuk kenikmatan
lainnya. Kekuasaan ‘kerajaan ego’
adalah ancaman paling besar yang memungkinkan seorang Pemberdaya menjadi
tidak berdaya melaksanakan tugas pemberdayaan.
Adalah
kebutuhan akan Rasa Bangga (prestise) yang membuat setiap orang
lebih suka didengarkan daripada mendengarkan orang lain.
Adalah Rasa
Bangga (prestise) yang menyebabkan setiap orang menyukai kewenangan, karena
kewenangan menjadi sumber kekuatan (power) atas orang lain.
Adalah kebutuhan akan dicintai dan dihargai
orang lain yang menyebabkan setiap orang cenderung lupa mencintai dan
menghargai orang lain, dan seterusnya.
Sisi lemah setiap orang ditinjau dengan kacamata Piramida Kebutuhan
di muka, menyebabkan orang sulit menjadi Pemberdaya Sejati. Hal ini terjadi karena pemberdayaan
mengharuskan penyerahan sumber daya (sources of power)
dari Si Pemberdaya kepada Yang Diberdayakan. Ini mengandung apa yang disebut sebagai sisi
pedih pemberdayaan sebagaimana akan diuraikan di bawah.
1. Secara
gradual Si Pemberdaya akan kehilangan kewenangan formal, karena harus
dipindahkan kepada Orang/pihak Yang Diberdayakan. Konsekuensinya kebanggaan sebagai orang yang
berkuasa akan semakin berkurang. Sungguh
tidak enak dan tidak mudah menjadi orang yang tidak lagi berkuasa. Secara umum orang menyebut hal ini sebagai post-power
syndrome.
2. Suatu
saat pengetahuan Si Pemberdaya akan mendekati sama atau sama dengan pengetahuan
Orang/pihak Yang Diberdayakan karena pemberdayaan menuntut pemindahan
pengetahuan dari Si Pemberdaya kepada Orang/pihak Yang Diberdayakan. Konsekuensinya, kebanggaan sebagai orang yang
lebih pintar dan ‘lebih tahu’ akan makin berkurang. Kebanyakan orang menyukai lebih pintar
daripada orang lain, bahkan cukup banyak orang yang ‘sok pintar’. Sungguh tidak mudah menerima kenyataan bahwa ada
orang yang sama atau lebih pintar daripada diri sendiri.
3. Suatu saat keterampilan Si Pemberdaya akan
mendekati atau sama dengan keterampilan yang dimiliki oleh orang/pihak Yang
Diberdayakan. Konsekuensinya kebanggaan
sebagai orang lebih terampil akan semakin berkurang. Kebanyakan orang lebih suka menyimpan
keterampilan yang dimilikinya untuk dirinya sendiri. Tidak mudah merelakan orang lain menggunakan
keterampilan yang pernah kita berikan untuk dirinya sendiri.
4. Suatu saat ‘bantuan’ dari Si
Pemberdaya tidak lagi dibutuhkan oleh Orang/pihak Yang Diberdayakan. Kebanggaan sebagai “pemberi bantuan”
akan hilang. Hal ini seringkali terkait
erat dengan kehausan yang tak pernah terpuaskan akan penghormatan dari orang
lain. Tidak mudah menjadi orang yang
tidak lagi dibutuhkan.
Demikian seterusnya, sampai suatu titik di mana semua sumber
kekuatan/ daya (source of power) yang dimiliki oleh Si Pemberdaya
dipindahkan kepada orang/pihak Yang Diberdayakan; atau paling tidak, akhirnya akan dimiliki
oleh kedua pihak dalam kadar/jumlah yang relatif sama. Inilah sesungguhnya yang menjadi visi
terdepan setiap upaya pemberdayaan.
Dengan demikian, setiap orang yang tidak memiliki
kerelaan untuk menyerahkan sumber-sumber daya (sources of power)
yang dimilikinya, jangan pernah menyebut dirinya sebagai seorang Pemberdaya. Seorang Pemberdaya Sejati adalah orang yang sanggup menerima sisi
pedih pemberdayaan (the bitter side of empowerment) yang
pasti akan muncul seiring dengan keberhasilan proses pemberdayaan itu
sendiri. Hanya ada dua solusi bagi
setiap Pemberdaya agar mampu menanggung sisi pedih pemberdayaan, yaitu :
1. Konsisten mengembangkan tingkat kerelaan (keikhlasan) yang
semakin tinggi dalam memberikan segala apa yang dimilikinya kepada orang lain
yang diberdayakannya. Dengan demikian
semakin tegas bahwa pem-berdayaan memerlukan kesukarelaan (volunteerism); dan
2. Karena pemberdayaan adalah
proses pembelajaran yang menerus, maka setiap Pemberdaya harus
membelajari dirinya sendiri secara menerus.
Dengan demikian, baik Si Pemberdaya maupun Orang/Pihak Yang
Diberdayakan sama-sama mengalami proses transformasi menuju memintar
(menjai pintar), sehingga tak perlu ada kepedihan karena menjadi tertinggal
atau merasa ditinggalkan.
Patut dicamkan bahwa yang paling banyak ditemukan
adalah para pemberdaya palsu yang tidak bersedia secara sadar dan tulus
memindahkan segala kekuatan (sumber daya) yang dimilikinya kepada orang/pihak
yang seharusnya diberdayakan, tetapi lebih cenderung menyalahgunakan
sumber-sumber daya/kekuatan (abuse of power) yang dimilikinya
untuk kepentingannya sendiri. Dia
bukanlah seorang pemberdaya, tetapi tidak lebih dan tidak kurang dari
sekedar seorang pemerdaya (penipu yang licik).
Setiap orang/pihak yang belum sungguh-sungguh memahami
hakekat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberdayaan sebagaimana telah
dibahas; dan yang belum melaksanakan
satupun dari berbagai strategi pemberdayaan seperti yang diuraikan di muka,
sebaiknya punya rasa malu untuk menyatakan telah melakukan upaya-upaya
pemberdayaan dan telah mengaku diri sebagai seorang Pemberdaya.
Dari sebelas (11) sumber daya/sumber kekuatan (sources of
power) sebagai-mana diuraikan di muka, berikut ini didaftar sumber-sumber daya
yang mana saja yang sudah diberikan oleh corporate kepada komunitas di
sekitarnya.
*Materi Pelatihan Community Development oleh Corporate Forum for Community Development
[ ]