Guru Besar Emeritus dari Universitas Diponegoro, Satjipto Rahardjo,
memulai tulisannya di Kompas (Sabtu, 31 Maret 2001/hal. 4) dengan judul “Kepercayaan, Itukah Masalah Mendasar Kita
?”; sebagai berikut :
Sejak
reformasi, apa saja yang tidak dilakukan oleh bangsa kita untuk bangkit
kembali, terutama di bidang pemulihan ekonomi.
Tetapi hasilnya belum kelihatan, malah terlihat tanda-tanda
memburuk. Kalau keadaan sudah seperti itu,
maka sebaiknya kita merenungkan, apakah dengan menggenjot usaha-usaha profesional
dan teknis pemulihan di berbagai bidang kehidupan, merupakan satu-satunya
jawaban, panacea, untuk mengatasi keadaan berat seperti ini ? Apakah persoalannya tidak terletak pada
sosiologi bangsa kita yang lebih mendasar ?
Lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang
dihadapi bangsa ini, Prof. Satjipto
Rahardjo menuliskan sebagai berikut :
Kegagalan pemulihan
di bidang ekonomi, politik, sosial adalah puncak gunung es yang menyembul di
atas permukaan air laut, sedang yang lebih substansial adalah rusaknya
kehidupan bermasyarakat atau bersama.
Maka kita kembalilah kepada masalah mendasar ini, yaitu mencari jawab
tentang bagaimana kehidupan bersama yang bermakna itu dapat dibangun kembali.
Tulisan tersebut di atas bisa jadi sangat berdasar. Banyak contoh bukti sebenarnya dapat
ditemukan sehari-hari, yang menimbulkan keraguan-raguan kita atas kebenaran
berbagai krisis yang kita alami. Setiap
kali para produsen barang meawah mengeluarkan produk-produk baru mereka, maka
setiap kali pula banyak peminat dan pembelinya.
Setiap kali perusahaan otomotif mengeluarkan produk-produk mobil mewah
terbaru, maka segera pula produk-produk mobil baru dan mewah tersebut terlihat
melintas di jalan raya. Jadi, benarkah
kita sedang mengalami krisis ekonomi ?
Ataukah kita sesungguhnya sedang mengalami krisis yang lain ? Barangkali justru tepat bahwa yang paling
mendasar adalah krisis rasa kebersamaan kita atau hilangnya norma-norma
kehidupan bersama, sebagaimana akan dibahas sebagai Modal sosial pada
Pokok Bahasan ini.
A. Gambaran Dasar Modal Sosial (Social
Capital)
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa dua ratus juta lebih orang
Indonesia yang hidup di wilayah Negara Republik Indonesia ini tidak hidup
sebagai perorangan dengan kemauan, kepentingan dan cita-cita masing-masing,
melainkan ada semacam misi tertentu yang mengikat ratusan juta orang
tersebut. Dari sinilah datangnya
pengertian membangun kehidupan bersama yang bermakna itu.
Untuk menggambarkan secara sederhana tentang apa yang disebut sebagai modal
sosial (Social Capital), Prof. Satjipto Rahardjo mengutip
sosiolog James Coleman dan Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa modal
sosial (Social Capital) sebagai :
“the ability of people to work together
for common purposes in groups and organisations”.
(Kemampuan orang untuk bekerjasama mencapai maksud/tujuan
bersama di dalam suatu kelompok dan organisasi).
Kemampuan bekerjasama dalam menghadapi sekalian permasalahan hanya akan
tumbuh jika terdapat saling percaya di antara sekalian
unsur-unsur, kelompok, golongan yang ada di suatu masyarakat. Dengan demikian, saling percaya adalah salah
satu unsur penting yang menjadi modal sosial (Social Capital)
bagi suatu masyarakat, termasuk bagi suatu komunitas sebagai ‘miniatur’
(bagian lebih kecil) dari suatu masyarakat.
Berbagai unsur lain yang dapat menjadi modal social atau setidaknya akan
menjadi komponen-komponen penumbuh modal sosial mungkin dapat disimpulkan
dengan mencermati uraian lebih lanjut berikut ini. Uraian ini sangat didasari oleh berbagai
pembahasan dan berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh Harvard Center
for Population and Development Studies, yang menggambarkan modal sosial (Social
Capital) tersebut sebagai berikut :
Modal Sosial (Social Capital) dapat disebut sebagai hasil sampingan dari adanya asosiasi manusia dalam suatu
jaringan-jaringan formal dan kelembagaan yang distrukturkan oleh aturan-aturan
keanggotaan dan tukar-menukar dan yang dihasilkan oleh adanya asosiasi dan
hubungan yang informal. Secara lebih spesifik, modal sosial timbul
sebagai hasil dari asosiasi yang menerus dan hubungan tukar-menukar tenaga
kerja, barang dan jasa, bantuan (tolong-menolong) dan informasi di antara
sesama manusia.
Dengan pengertian tersebut di atas, maka modal sosial
adalah hasil dari adanya hubungan antar manusia dan sekaligus sebagai sarana
bagi manusia untuk lebih lanjut meningkatkan kualitas hubungan itu.
Beberapa hubungan sosial melibatkan hubungan
pertukaran timbal-balik secara langsung dan impas (seimbang), sementara pada
hubungan sosial lainnya mungkin diperlukan tenggang waktu yang cukup lama untuk
mencapai pertukaran timbal-balik yang impas (seimbang), jika dibandingkan
dengan karakteristik umum hubungan pertukaran timbal-balik seperti yang terjadi
pada hubungan pertukaran timbal-balik dalam konteks bisnis.
Hubungan
tukar-menukar dan berbagai asosiasi mempunyai sifat-sifat yang berbeda; misalnya yang terjadi di antara para anggota
suatu keluarga berbeda dengan yang terjadi di antara anggota suatu kelompok
‘marga’ atau suku/etnis tertentu, dan akan berbeda lagi sifatnya pada
sekelompok orang yang mulanya asing satu sama lain tetapi menjadi bersatu dalam
suatu kelompok misalnya dalam satu organisasi politik atau ekonomi
tertentu. Di masyarakat tradisonal di perdesaan,
hubungan timbal-balik di antara sesama anggotanya mungkin dapat dibangun secara
sosial melalui pengasuhan (pengangkatan) anggota keluarga, hubungan perkawinan,
kemiripan nama dan sebagainya.
Pertanyaannya
adalah, “Apakah suatu organisasi atau
suatu kelembagaan merupakan wujud dari modal sosial ?” Jawabnya “tidak”. Modal sosial bukan organisasi dan bukan
kelembagaan itu sendiri, tetapi hubungan baik di antara manusia di dalam maupun
di luar organisasi dan/atau di dalam maupun di luar kelembagaanlah yang memberi
sumbangan terhadap terciptanya suatu modal sosial.
Modal sosial mungkin dapat terkandung di dalam hubungan baik vertikal
maupun horisontal yang berdasarkan kesukarelaan. Modal sosial juga dapat dibangun dan/atau dapat
bermula dari hubungan baik tersebut.
Hubungan dapat melibatkan individu-individu yang berhimpun secara
bersama-sama untuk melakukan upaya bersama memenuhi kebutuhan ekonomis mereka
(misalnya dalam menjual atau membeli suatu barang atau jasa secara kolektif),
untuk memenuhi kebutuhan sosial atau agama secara bersama sebagaimana yang
terjadi pada sekelompok orang yang secara bertemu dalam acara kebaktian, doa
bersama (istiqotsa), melaksanakan perayaan perkawinan, sekelompok orang yang
berkabung karena kematian, atau sekelompok orang bersatu untuk mencapai kepentingan
politik (misalnya dalam pemilihan perwakilan atau dalam mengajukan protes dan
melakukan demonstrasi kepada pemerintah).
Kesimpulannya adalah bahwa modal sosial dibangun dari adanya hubungan
interaksi di antara orang-orang yang bergabung di dalam suatu kelompok atau
yang memiliki kelembagaan yang sama.
Suatu hubungan interaksi yang baik dan berkelanjutan tidak akan pernah
terbangun jika basis untuk itu, yaitu saling percaya tidak pernah ada
sebagai faktor inti pendorong.
B. Modal Sosial (Social Capital) versus
Modal Materi Fisik
Setiap
upaya pembangunan yang bersifat menghasilkan materi fisik dapat memberi
pengaruh positif maupun negatif sekaligus pada pengembangan modal sosial. Sebagai contoh, pengembangan sistem pelayanan
jaringan telekomunikasi telah mengakibatkan sebagian besar orang merasa tidak
perlu bertemu secara fisik dengan orang lain untuk melakukan hubungan. Secara tidak langsung, hal ini mengakibatkan
hubungan interaksi di antara orang dengan menggunakan jasa telekomunikasi ini
menjadi kurang intensif sehingga menghambat penumbuhan modal sosial. Dengan kata lain, kualitas interaksi antar
manusia dengan menggunakan telekomunikasi semakin menurun sehingga tidak cukup
memberi sumbangan kepada penumbuhan modal sosial. Di sisi lain, jasa telekomunikasi juga
membantu orang-orang untuk tetap memelihara dan memulai hubungan satu sama lain
meskipun jarak ada jarak fisik di antara mereka. Dengan demikian, jasa
telekomunikasi juga dapat berdampak positif pada penumbuhan modal sosial.
Pada kasus pembangunan pasar-pasar/toko swalayan
dan mall, hubungan interaksi antara si penjual dengan si pembeli dan
hubungan di antara sesama pembeli sangat minimum. Asalkan seseorang dapat membaca label harga
setiap barang yang ingin dibelinya dan dia memiliki cukup uang (atau kartu
kredit), proses jual-beli dapat dilakukan tanpa interaksi sedikitpun dengan
orang lain. Kondisi seperti ini tidak
mendukung penumbuhan modal sosial.
Proses jual-beli di pusat perbelanjaan tradisional
akan sangat berbeda sekalipun untuk jenis barang yang sama, khususnya dalam
kaitannya dengan interaksi sesama manusia.
Di pusat-pusat
perbelanjaan tradisional setiap orang harus melakukan tawar-menawar sebelum
suatu transaksi disepakati dan dapat dilakukan.
Selain itu di pusat-pusat perbelanjaan tradisional, kemungkinan
berinteraksi baik dengan penjual maupun dengan sesama pembeli lebih
dimungkinkan. Dengan alasan itu, maka
pusat perbelanjaan tradisional lebih mendorong penumbuhan modal sosial daripada
pusat-pusat perbelanjaan swalayan seperti mall.
Kasus
lain yang sangat menarik untuk disimak dalam kaitan dengan penumbuhan modal
sosial adalah pada pola-pola pembangunan fisik permukiman dan perumahan. Seperti diketahui bahwa pola pembangunan
permukiman dan perumahan secara massal telah berhasil menyediakan modal
material fisik dalam bentuk rumah-rumah siap huni dalam jumlah besar secara
terkonsentrasi di satu kawasan.
Kawasan-kawasan permukiman dan perumahan baru seperti umumnya, berada
relatif di luar pusat kota
sehingga secara praktis mengakibatkan tambahan jarak dan waktu tempuh para
penghuninya ke dan dari tempat bekerjanya masing-masing. Secara tidak langsung hal ini mengakibatkan
meningkatnya kelelahan fisik dan psikologis para penghuninya. Akibat selanjutnya
adalah semakin terbatasnya interaksi sosial di antara sesama penghuninya.
Kondisi tersebut ditambah lagi dengan kondisi awal yang
sudah menyulitkan, yaitu masing-masing penghuni sejak awal sudah merupakan
orang-orang yang masih asing satu sama lain.
Tidak jarang kejadian luar biasa terjadi di tetangga tetapi tidak
diketahui oleh tetangga lain sebelah-menyebelah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa di
samping keberhasilan menyediakan modal material fisik, yaitu kawasan permukiman
dan perumahan siap huni; di sisi lain
pola pembangunan demikian ini telah berkontribusi sangat besar dalam hilangnya
modal sosial yang mungkin pernah dimiliki oleh para penghuninya di tempat asal
mereka masing-masing.
Dengan maksud baik untuk lebih memperhatikan
kelompok menengah dan bawah, Pemerintah telah menerapkan pola komposisi
pembangunan perumahan 6 : 3 : 1 (6 rumah sederhana : 3 rumah menengah : 1 rumah
mewah). Persoalannya bukan sekedar
komposisi proporsi, tetapi relatif pada bagaimana pengaturan tata-letak yang
memungkinkan agar golongan orang kaya, golongan kelas menengah dan yang miskin
dapat berinteraksi satu sama lain.
Kenyataannya semua permukiman dan perumahan baru, dibangun secara enclave
(tertutup dan terpisah dari permukiman lain/kawasan kampung) di
sekitarnya. Tipe rumah mewah, rumah
menengah dan sederhana juga dibangun dalam kelompok-kelompok terpisah dan
relatif tertutup satu sama lain. Pola
pembangunan yang demikian inilah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap
semakin merosotnya modal sosial masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan tentang perbedaan
antara masyarakat gemeinschaft dengan masyarakat
gesellschaft, pengembangan mekanisme negara yang ‘profesional’
dan mekanisme pasar dalam penyediaan layanan insani telah memberi kontribusi
besar terhadap tergerusnya (erosi) kepedulian dan rasa kebersamaan dalam
masyarakat dan komunitas.
C. Aspek Penting Manfaat Modal Sosial (Social
Capital)
Terlalu banyak contoh di mana hasil-hasil
pembangunan yang dapat disebut sebagai modal material fisik, sebagaimana
diuraikan di muka, telah menghancurkan atau setidaknya menghambat penumbuhan
modal sosial. Dampak balik dari
hancurnya modal sosial, juga telah terbukti berkali-kali menghancurkan modal
material fisik yang telah dibangun dengan biaya yang tidak sedikit itu. Kerusuhan massal adalah wujud dari hancurnya
modal sosial yang telah mengakibatkan pula kehancuran berbagai bentuk modal
material fisik yang sudah dibangun dengan segala biaya yang telah dikeluarkan
untuk itu.
Tanpa modal sosial, seseorang atau sekelompok orang
dapat melupakan kaidah-kaidah paling sederhana sekalipun. Kaidah paling sederhana misalnya bahwa sebuah
kesebelasan sepakbola tidak mungkin bertanding dengan dirinya sendiri. Harus ada kesebelasan lain sebagai lawan
tanding agar sebuah pertandingan dapat berlangsung sebagai suatu tontonan. Bahwa kesebelasan-kesebelasan yang layak
ditonton harus dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Bahwa arena-arena pertandingan sebagai modal
material fisik untuk menyelenggarakan sebuah pertandingan dan sebagai tempat
menonton, telah dibangun dengan biaya yang tidak murah. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tontonan
yang seharusnya menarik menjadi tidak menarik karena dirusak sendiri oleh
kelompok penonton yang dapat disebut sesungguhnya tidak memiliki modal sosial.
Uraian di atas menjadi pertimbangan mengapa ke masa
depan, pembangunan harus di arahkan untuk dapat menghasilkan keluaran yang
merupakan harmoni antara modal material fisik dengan modal sosial. Menitik-beratkan upaya pembangunan untuk
menghasilkan modal material fisik semata telah terbukti menghancurkan modal
sosial; dan ketiadaan modal sosial
terbukti pula berkali-kali menghancurkan modal material fisik yang sudah
dibangun.
Maka, menyimak kembali kutipan tulisan Prof. Satjipto Rahardjo pada halaman pertama tulisan
ini, memahami modal sosial merupakan upaya awal untuk mengembangkan dan
membangun kembali norma kehidupan bersama yang sangat kuat mengindikasikan
pengaruhnya yang sangat besar terhadap keberhasilan berbagai upaya menghadapi
krisis berbagai dimensi.
Dengan demikian, manfaat utama modal sosial adalah
untuk mengembangkan efektivitas upaya bersama untuk mencapai tujuan bersama,
sekaligus memelihara hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya bersama
tersebut.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tumbuhnya
Modal Sosial (Social Capital)
Pembentukan Corporate Forum for Community Development (CFCD) dan upaya-upaya pengembangan
komunitas oleh corporate (perusahaan) mengandung pesan yang menyiratkan bahwa
pihak swasta juga bermaksud mengembangkan ikatan sosial atau modal sosial
terutama di komunitas di sekitar. Jika
benar maka pihak-pihak yang terkait dengan hal ini perlu memahami faktor-faktor
apa saja yang berpengaruh terhadap penumbuhan dan pertumbuhan modal sosial,
khususnya pada skala komunitas.
Terdapat dua aspek yang berhubungan dengan itu,
yaitu : yang berhubungan dengan atribut
suatu komunitas dan yang berhubungan dengan atribut asosiasi di dalam
komunitas. Masing-masing diuraikan lebih rinci berikut ini.
E. Yang Berhubungan Dengan
Atribut (Perangkat) Suatu Komunitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi penumbuhan dan pertumbuhan modal sosial
yang termasuk dalam kategori ini adalah mobilitas penduduk, keberagaman
penduduk, kehidupan ekonomi, tingkat partisipasi
pendidikan, tingkat rasa saling percaya, dan bentuk
spesifik saling percaya.
Masing-masing diuraikan sebagai berikut.
1. Mobilitas penduduk
Mobilitas penduduk yang tinggi tidak
mendukung tumbuhnya modal sosial. Hal
ini terjadi karena setiap kali seseorang pindah ke tempat baru, dia selalu harus
memulai lagi proses sosialisasi dengan para tetangga di tempat yang baru
itu. Tingginya mobilitas penduduk sudah
merupakan ciri utama dari suatu masyarakat industrial moderen sebagaimana telah
dijelaskan tentang masyarakat gesellschaft. Sebaliknya, bermukim relatif menetap di suatu
tempat dalam waktu yang relatif lama (bertahun-tahun) mendorong tumbuhnya modal
sosial.
2. Keberagaman penduduk
Tingkat keberagaman penduduk yang tinggi
(dalam aspek etnik, bahasa, dan sebagainya) tidak kondusif untuk tumbuhnya
modal sosial. Ini mudah dipahami karena
masing-masing orang dalam situasi seperti itu relatif memerlukan waktu yang
cukup lama untuk beradaptasi satu sama lain hingga pada akhirnya mampu
membangun norma kehidupan bersama yang kokoh.
Sementara itu, penduduk yang relatif homogen lebih kondusif untuk tumbuhnya
modal sosial.
3. Kehidupan
ekonomi
Sistem kehidupan
ekonomi yang menuntut seseorang harus tinggal jauh dari kediamannya dalam
jangka waktu relatif lama, tidak memfasilitasi tumbuhnya dan terpeliharanya
modal sosial. Hal ini disebabkan karena
penumbuhan modal sosial memerlukan intensitas dan frekuensi interaksi yang
cukup tinggi di antara para anggota suatu komunitas. Tanpa itu, nampaknya sangat sedikit peluang
bagi penumbuhan dan pengembangan modal sosial.
Kehidupan yang sangat labil karena tuntutan ekonomi dalam memenuhi
kebutuhan dasar, menyebabkan para anggota komunitas kurang memiliki waktu,
pikiran dan kondisi psikologis yang memadai untuk mengembangkan modal sosial.
4. Tingkat
partisipasi pendidikan
Tingkat partisipasi
anak didik di dalam proses-proses pendidikan (di sekolah), memfasilitasi
tumbuhnya modal sosial di antara anak didik dan anak didik dengan para
orangtua, bahkan sangat mungkin di antara para orangtua anak didik. Sekolah adalah titik tumbuh pembentukan modal
sosial sejak masa anak-anak; dan ini
akan cenderung tertanam dan terbawa terus sampai anak-anak tersebut menjadi
dewasa.
5. Tingkat
saling percaya
Semakin tinggi rasa
saling percaya di antara anggota suatu komunitas semakin memfasilitasi proses
penumbuhan dan pertumbuhan dan bahkan terpeliharanya modal sosial. Suatu komunitas yang tidak memiliki rasa
saling percaya di antara sesamanya, tidak mungkin menumbuhkan dan memiliki modal
sosial. Hal ini sudah dijelaskan oleh
tulisan Prof. Satjipto Rahardjo yang
dikutip di muka.
6. Bentuk/sifat
saling percaya
Selain faktor saling percaya itu
sendiri, bentuk saling percaya juga sangat menentukan penumbuhan dan
pertumbuhan modal sosial di suatu komunitas.
Karena itu, bentuk spesifik saling percaya diperlukan untuk menumbuhkan
modal sosial lebih daripada sekedar saling percaya itu sendiri secara
umum. Dalam konteks bisnis (dagang)
seseorang dapat saja sangat mempercayai orang lain (mitra bisnis/mitra
dagangnya), tetapi kondisi saling percaya mungkin akan sangat berbeda jika itu
menyangkut sesuatu yang lebih bersifat sosial.
Atau dalam kasus lain, seseorang dapat saja sangat mempercayai orang
lain sebagai profesional, tetapi dalam hal yang berkaitan dengan kebutuhan
tolong-menolong, mungkin orang yang sama tidak cukup dapat diandalkan.
F. Indikasi-indikasi Kuat atau Lemahnya Modal
Sosial
Beberapa hal yang diuraikan
berikut ini adalah pertanda (indikasi) yang dapat menunjukkan keadaan kuat atau
lemahnya modal sosial yang ada di suatu komunitas.
1. Kapasitas untuk melakukan kegiatan (aksi)
bersama
Adanya kemampuan yang
tinggi untuk melaksanakan kegiatan/aksi bersama (tindakan kolektif) merupakan
pertanda kuatnya modal sosial. Secara
logis suatu tindakan bersama (kolektif) tidak mungkin dapat berlangsung jika
tidak didahului oleh upaya-upaya mengorganisasikan pandangan terhadap masalah
bersama, mengorganisasikan pandangan terhadap upaya bersama, kontribusi dan
pengerahan sumberdaya untuk melaksanakan tindakan kolektif itu. Sementara itu, ketiadaan strategi untuk melakukan
kegiatan/aksi bersama (tindakan kolektif) adalah pertanda lemahnya modal sosial
dalam suatu komunitas.
2. Mekanisme legal dalam
memberikan sanksi terhadap perbuatan menyimpang
Suatu sistem yang efektif untuk memberi
ganjaran terhadap tindakan atau perbuatan menyimpang yang tak dapat dibenarkan
dan diterima secara umum oleh komunitas, menandakan adanya modal sosial yang
tinggi. Sedangkan ketiadaan sistem yang
efektif untuk memberi ganjar-an terhadap perbuatan/tindakan menyimpang yang
tidak dapat diterima dan dibenarkan, menandakan lemahnya modal sosial di
komunitas itu. Dapat juga bahwa
ketiadaan sistem yang efektif tersebut menunjukkan adanya ‘mekanisme di
luar hukum’ yang sering digunakan untuk merespon setiap tindakan yang
tak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan.
3. Mekanisme di luar hukum
dalam memberikan ganjaran terhadap perbuatan menyimpang
Mekanisme yang tidak efektif dalam memberi
ganjaran terhadap per-buatan/tindakan yang tak dapat diterima dan dibenarkan
memerlukan adanya strategi lokal untuk bersikap terhadap perbuatan/tindakan
tersebut. Ini memerlukan
kehadiran modal sosial yang tinggi di antara anggota komunitas. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah
munculnya respon yang tidak terkendali dan tidak berbudaya seperti tindakan
kekerasan, main hakim sendiri dan sebagainya yang menunjukkan tidak adanya
tertib hukum dalam suatu masyarakat.
4. Tindak kekerasan (civility/keberadaban)
Tingginya kejadian
tindak kekerasan dalam suatu komunitas menunjukkan lemahnya modal sosial di
komunitas itu. Sedangkan tidak adanya
atau rendahnya frekuensi tindak kekerasan menunjukkan tingginya modal sosial di
dalam komunitas tersebut.
Tindakan-tindakan kekerasan di suatu komunitas menunjukkan rendahnya
peradaban komunitas itu. Peradaban yang
tinggi hanya dapat dibangun oleh masyarakat atau komunitas jika cukup modal
sosial untuk melakukannya.
5. Pengelolaan sumberdaya
Adanya bentuk-bentuk
partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya, menciptakan dan akan terus
menumbuhkan modal sosial yang semakin tinggi di antara anggota komunitas. Karena itu kepemilikan komunal seperti
tanah-tanah komunal (sejenis tanah kas desa) yang dahulu ada, yang harus
dikelola dan dimanfaatkan bersama mendorong komunitas itu untuk mengembangkan
modal sosial untuk tujuan tersebut.
Dalam konteks
pelaksanaan pengembangan komunitas, maka jika ada upaya untuk mengembangkan
basis kepemilikan bersama (common
properties) seperti modal bersama dapat dipandang sebagai upaya untuk
menyediakan harta milik komunal (milik bersama) bagi komunitas itu
sendiri. Ini berarti adanya keinginan
untuk menumbuhkan modal sosial di komunitas pesertanya
6. Keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat
Semakin besar dan
semakin tinggi frekuensi keikutsertaan para anggota komunitas dalam berbagai
kegiatan yang dilaksanakan oleh komunitasnya secara luas (seperti dalam :
kegiatan politik, kegiatan sosial, dan keagamaan); menunjukkan besarnya modal sosial di suatu
komunitas. Sedangkan semakin kecil skala
dan semakin rendah frekuensi keikut-sertaan para anggota komunitas dalam
berbagai kegiatan yang di-laksanakan komunitas itu menunjukkan lemahnya modal
sosial.
7. Interaksi dengan pemerintah dan/atau LSM
Semakin besar modal sosial yang
dimiliki oleh suatu komunitas meningkatkan peluang keberhasilan komunitas itu
untuk menjangkau dan memperoleh layanan umum dari organisasi Pemerintah
dan/atau dari LSM serta organisasi penyedia pelayanan lainnya. Dengan kata lain, modal sosial yang dimiliki
oleh suatu komunitas sangat menentukan kemampuan komunitas itu untuk melakukan
hubungan interaksi dengan pihak lain.
8. Kemampuan beradaptasi
Kemampuan suatu
komunitas untuk bertahan menghadapi kondisi krisis menunjukkan besarnya modal
sosial yang dimiliki oleh komunitas itu.
Sedangkan jika modal sosial suatu komunitas sangat kecil, kemampuan
komunitas itu bertahan menghadapi kondisi krisis (secara kolektif) juga
rendah. Dengan kata lain, semakin besar
modal sosial yang dimiliki oleh suatu komunitas, semakin luas rentang adaptasi
komunitas itu terhadap berbagai perubahan drastis.
9. Distribusi dan kesetaraan
Semakin tinggi derajad
kesetaraan dalam kaitan dengan akses terhadap sumberdaya ekonomi, menunjukkan
adanya modal sosial yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang semakin besar
pula. Semakin tinggi tingkat fragmentasi
sosial (perpecahan dan pengelompokan suatu komunitas), menunjukkan rendahnya
modal sosial suatu komunitas.
10. Komunikasi dan arus informasi
Semakin besar modal
sosial dalam suatu masyarakat akan semakin memfasilitasi aliran pertukaran
informasi yang semakin baik. Sedangkan
tingkat modal sosial yang kecil akan menghambat komunikasi antar anggota
masyarakat. Kondisi sebaliknya juga demikian. Kelancaran komunikasi dan pertukaran
informasi di antara sesama anggota komunitas akan cenderung mendorong
penumbuhan dan pertumbuhan modal sosial.
G. Yang Berhubungan Dengan Atribut (Perangkat)
Asosiasi Di Dalam Komunitas
Kelompok,
perkumpulan dan organisasi-organisasi yang ada di dalam setiap komunitas adalah
wadah-wadah awal bagi setiap anggota komunitas untuk berasosiasi dengan
sesamanya. Karena itu kelompok-kelompok
dan organisasi-organisasi yang ada di suatu komunitas juga merupakan wadah bagi
proses awal pengembangan modal sosial di dalam komunitas itu.
Di bawah ini adalah berbagai kelengkapan (atribut)
yang berhubungan dengan asosiasi para anggota komunitas yang mempengaruhi
penumbuhan dan pertumbuhan modal sosial di dalam komunitas itu.
1. Jumlah/banyaknya
asosiasi
Suatu komunitas
yang memiliki banyak asosiasi/perkumpulanpaguyuban menunjukkan adanya modal
sosial yang besar dalam komunitas itu.
Sementara itu, semakin sedikit asosiasi (perkumpulan/paguyuban) yang ada
di suatu komunitas, menunjukkan kecilnya modal sosial komunitas.
2. Kekentalan
keanggotaan
Semakin besar
keterlibatan individu-individu dalam suatu asosiasi menunjukkan semakin
besarnya modal sosial para anggotanya;
dan semakin kecil keterlibatan individu-inividu dalam berbagai kegiatan
asosiasi maka semakin kecil pula modal sosial yang dimiliki para anggota
asosiasi itu. Dengan kata lain,
kekentalan keanggotaan suatu asosiasi di dalam komunitas menunjukkan tingkat
kebersamaan mereka.
3. Berbagi
risiko (tanggung renteng)
Mekanisme berbagai
risiko (tanggung renteng) mendorong penumbuhan modal sosial di antara para
anggota suatu asosiasi. Hal logis karena
jika tidak ada kemungkinan untuk berbagi risiko di antara para anggota suatu
asosiasi, maka tidak cukup alasan bagi seorang individu untuk berasosiasi
dengan orang lain. Selanjutnya hal ini
akan memperkecil kemungkinan pengembangan modal sosial di antara anggota
asosiasi tersebut.
4. Pertukaran
sumberdaya
Suatu asosiasi yang
menunjukkan adanya frekuensi yang tinggi dalam pertukaran sumberdaya (misalnya
kredit, tenaga kerja, sewa tanah, informasi, dan sebagainya) akan semakin
meningkatkan modal sosial asosiasi itu.
Proses dan mekanisme pertukaran sumberdaya di antara anggota komunitas
atau asosiasi adalah jalan menuju pengembangan modal sosial.
5. Efektivitas
asosiasi
Asosiasi yang efektif
adalah bukti tingginya modal sosial asosiasi itu. Efektivitas suatu asosiasi ditunjukkan oleh
sejauh mana asosiasi itu memberikan manfaat bagi para anggotanya sesuai dengan
kesepakatan atas tujuan, fungsi dan tugas asosiasi tersebut.
6. Kerjasama
antar asosiasi
Kerjasama yang semakin
sering dan efektif di antara berbagai asosiasi yang ada di suatu komunitas akan
menciptakan dan melahirkan modal sosial yang semakin tinggi. Sedangkan kerjasama yang efektif di antara
berbagai asosiasi tidak mungkin terjadi di dalam komunitas yang memiliki modal
sosial yang kecil.
7. Perangkapan
keanggotaan dalam berbagai asosiasi
Semakin tinggi tingkat
perangkapan keanggotaan dalam berbagai asosiasi akan memfasilitasi penciptaan
modal sosial. Hal ini tentu saja dengan
prasyarat, yaitu bahwa sekalipun banyak perangkapan keanggotaan seorang
individu di berbagai asosiasi di dalam suatu komunitas, efektivitas setiap
asosiasi tetap terpelihara. Jika tidak,
maka perangkapan keanggotaan justru akan menjadi arena perebutan pengaruh di
antara asosiasi yang ada.
8. Kekenyalan/kelenturan
asosiasi
Asosiasi yang mampu
menghadapi perubahan mendadak yang terjadi di lingkungan sekitarnya,
menunjukkan bahwa asosiasi tersebut memiliki modal sosial yang besar. Asosiasi yang memiliki modal sosial yang
kecil tidak akan mampu menghadapi perubahan dramatis. Kelenturan suatu asosiasi di dalam suatu
komunitas juga dicerminkan oleh kemampuan asosiasi itu untuk melakukan
reorientasi tujuan dan sasaran bersama sebagai respon terhadap tiap perubahan
di sekitarnya.
Pengembangan kelompok-kelompok swadaya di suatu
komunitas, sama artinya dengan menumbuh-kembangkan modal sosial di komunitas
itu. Hal ini juga menjadi salah satu sasaran dan arah tujuan penting dari
setiap upaya pengembangan komunitas (community development).
* Materi Pelatihan CSR oleh Corporate Forum for Community Development
[
]