Upaya Pengembangan Komunitas (Community Development/CD) telah
banyak dilakukan; Atau setidaknya diakui oleh berbagai pihak telah
berpengalaman melakukannya. Tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa cukup banyak pihak yang sesungguhnya belum cukup
memahami makna pengembangan komunitas itu sendiri; Falsafahnya,
prinsip-prinsipnya dan berbagai aspek terkait lainnya. Seringkali pengertian atas berbagai istilah
yang terkait dengan pengembangan komunitas itu dipahami sama atau bahkan
dicampur-adukkan satu sama lain. Karena
itu sebelum mampu melakukan pengembangan komunitas dengan baik, adalah penting
bagi setiap orang untuk memahami beberapa istilah dasar yang berkaitan dengan
itu.
A. Masyarakat
(Society) dan Komunitas (Community)
Banyak orang yang selalu saja mencampur-adukkan pengertian dari kedua
istilah ini, yaitu : masyarakat (society)
dengan komunitas (community). Itulah sebabnya mengapa istilah Community
Development sering diterjemahkan begitu saja sebagai Pengembangan
Masyarakat. Kedua istilah ini
memang menunjuk pada sekumpulan makhluk sejenis. Tetapi yang pasti adalah bahwa masyarakat
selalu mengandung pengertian yang lebih luas daripada komunitas. Dengan kata lain, komunitas selalu merupakan
bagian yang lebih kecil dari suatu masyarakat.
Masyarakat adalah sekumpulan makhluk sejenis, dan komunitas adalah
sekumpulan makhluk sejenis yang memiliki ciri-ciri yang relatif sama
(seragam). Untuk memahami perbedaan
antara kedua istilah tersebut, mungkin lebih mudah dengan memperhatikan
contoh-contoh yang akan diuraikan dengan bantuan skema pada Gambar 1 dan
Gambar 2 pada halaman berikutnya.
Masyarakat Indonesia
jika dipandang dari berbagai agama yang dianut (dipeluk) dapat disebut terdiri
dari berbagai komunitas, misalnya :
komunitas Islam, komunitas Kristen, komunitas Hindu dan sebagainya (Gambar
1).
Sering juga orang menggunakan istilah masyarakat untuk menunjuk pada
suatu komunitas. Memang tidak terlalu
salah; dan dalam hal demikian maka dapat
disebut bahwa Masyarakat Islam Indonesia misalnya, terdiri dari berbagai
komunitas, yaitu : Komunitas
Nahdlatul Ulama, Komunitas Muhammadiyah, Komunitas Wahidiyah
dan sebagainya (Gambar 2).
Ciri-ciri yang relatif sama dapat ditentukan atas berbagai aspek,
sehingga cakupan suatu masyarakat maupun cakupan suatu komunitas dapat digeser
mulai dari yang sangat umum sampai yang sangat spesifik. Inilah yang mengakibatkan campur-aduk
pengertian kedua istilah tersebut sering terjadi. Yang pasti, bahwa istilah komunitas selalu
menunjuk pada sekelompok anggota masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang
relatif sama, dan ciri-ciri tersebut lebih spesifik daripada ciri-ciri anggota
masyarakat. Komunitas selalu
merupakan bagian yang lebih kecil dari suatu masyarakat.
Contoh lain, menunjuk pada Masyarakat Jakarta
yang dapat terdiri dari beberapa komunitas penduduk relatif sama berdasarkan
kelurahan tempat tinggal, misalnya :
Komunitas Etnis Betawi, Komunitas Etnis Batak, dan
sebagainya (Gambar 3).
Untuk tujuan dan konteks bahasan yang akan
diuraikan dalam tulisan ini, dipilih penggunaan istilah ‘komunitas’. Selain karena mengambil terjemahan langsung
dari istilah ‘community’, juga dengan alasan bahwa komunitas
menunjuk kepada suatu bagian dari masyarakat yang relatif lebih spesifik. Karena itu, untuk tulisan ini digunakan istilah
‘pengembangan komunitas’ sebagai terjemahan langsung dari istilah
‘community development’.
B. Definisi Beberapa Istilah Umum
Terkait Dengan Pengembangan Komunitas
Jim Ife adalah seorang
anggota/pengurus Australian Association of Social Worker (AASW)
dan juga sebagai anggota International Federation of Social Worker
(IFSW), pada tahun 1995 menerbit-kan sebuah buku tentang
pengembangan komunitas, yang sampai saat ini dikenal sebagai buku paling
komprehensif membahas tentang pengembangan komunitas. Jim Ife mengajukan definisi untuk
berbagai istilah penting yang berkaitan dengan pengembangan komunitas di
antaranya sebagai berikut :
1. Community-based services
diterjemahkan sebagai pelayanan yang bertumpu pada komunitas,
adalah struktur dan proses pemenuhan kebutuhan insani (manusia) dengan
mengutamakan sumberdaya, keahlian, dan kearifan komunitas itu sendiri.
Definisi
tersebut di atas erat kaitannya dengan berbagai istilah yang telah dikenal,
misalnya : pembangunan yang bertumpu
pada komunitas (community-based development) dan pembangunan
perumahan yang bertumpu pada komunitas (community-based housing).
2. Community development
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pengembangan komunitas,
adalah proses membangun, atau membangun kembali struktur komunitas insani
di mana cara-cara baru untuk berhubungan antar pribadi, mengorganisasikan
kehidupan sosial, dan memenuhi kebutuhan insani menjadi lebih dimungkinkan.
3. Community works
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pekerjaan pengembangan
komunitas, adalah kegiatan atau praktek-praktek yang dilakukan
oleh seseorang yang berupaya memfasilitasi proses pengembangan komunitas, tanpa
memandang apakah orang tersebut menerima imbalan (bayaran/upah) maupun tidak.
4. Community worker
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pekerja pengembangan
komunitas, adalah setiap orang yang berupaya memfasilitasi proses
pengembangan komunitas, tanpa memandang apakah seseorang itu memperoleh imbalan
(bayaran/upah) maupun tidak.
Definisi-definisi dasar di atas,
hendaknya dipahami juga oleh para pelaksana pengembangan komunitas oleh setiap corporate. Dengan kata lain, semua pihak yang terlibat
sebagai pelaksana pengembangan komunitas baik secara langsung maupun tak
langsung (bila perlu termasuk para pejabat manajemen puncak di suatu corporate) memahami instilah dasar
pengembangan komunitas tersebut.
Dengan definisi
ini pula, hendaknya dipahami bahwa setiap orang di dalam suatu corporate yang terlibat dalam
pelaksanaan upaya-upaya corporate dalam
rangkan pengembangan komunitas (teristimewa pada Community Development Officer) adalah para pekerja pengembangan
komunitas. Hal ini perlu ditegaskan
karena di dalam pelaksanaan kegiatannya sehari-hari sebutan (bahkan status)
atau citra diri sebagai ‘pekerja pengembangan komunitas’ dan ‘pengembangan
komunitas’ sangat menentukan..
C. Mengapa Pengembangan Komunitas Menjadi
Penting..?
Dorongan kuat yang menyebabkan perlunya
pengembangan komunitas adalah kegagalan negara-negara yang disebut sebagai ‘negara
yang bertujuan mengupayakan kemakmuran rakyat’ (welfare state). Merujuk pada Mukadimah UUD 1945, dapat
ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah salah satu dari negara yang harus
disebut sebagai welfare state tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, sejak lama sebenarnya
telah terbukti bahwa negara-negara welfare state telah gagal
mengupayakan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial
(social justice) bagi rakyatnya.
Di Indonesia, puncak kegagalan tersebut nampak menjadi sangat dirasakan
bersamaan dengan mulainya masa krisis moneter yang terjadi pada pertengahan
Tahun 1997. Kesenjangan perolehan
pendapatan, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pertumbuhan jumlah
pengangguran angkatan kerja produktif adalah beberapa di antara indikator yang
dapat digunakan untuk menunjukkan kegagalan tersebut.
Sedikitnya terdapat dua faktor paling rasional yang
dapat di-sebutkan sebagai penyebab kegagalan hampir di semua welfare
state tersebut, yaitu :
1. Terlalu
banyak urusan yang berkaitan dengan pelayanan insani (human services) yang tidak mungkin efektif dan efisien jika
pemenuhannya diupayakan secara sentralistik dengan menggunakan mekanisme
negara. Jenjang dan jalur birokrasi yang
begitu panjang di dalam pranata negara tidak mungkin mampu bekerja secara efektif
dan efisien untuk berbagai hal.
2. Pola pembangunan industri yang
kapitalistik yang diadopsi oleh hampir semua welfare state telah
menciptakan masyarakat industrial yang kehilangan identitas komunitas karena hancurnya struktur komunitas terutama
komunitas tradisional.
Kedua hal tersebut di atas terjadi karena industri yang kapitalistik
memerlukan dan sekaligus mengakibatkan :
§ mobilitas angkatan kerja produktif yang sangat tinggi,
§ mobilitas individu yang sangat tinggi,
§ tingkat konsumsi per individu dan per keluarga yang semakin membumbung,
§ dominasi ideologi individualistik yang semakin kental dan kuat.
Mobilitas angkatan kerja produktif dan individu terjadi
sekaligus dalam dua bentuknya, yaitu : secara horisontal maupun vertikal. Mobilitas secara horisontal diwujudkan
terutama dalam bentuk urbanisasi; dan
mobilitas vertikal diwujudkan dalam bentuk peningkatan status sosial dan
ekonomi. Kedua tipe mobilitas tersebut,
baik secara langsung maupun tak langsung telah mengakibatkan begitu banyak
individu yang kemudian terpisah dan berpisah dari keluarga, meninggalkan
adat-istiadat dan komunitas asalnya. Mereka berubah
menjadi individualistik – semakin kurang memperdulikan orang lain dan bahkan
semakin tidak religius. Proses ini telah
mengakibatkan pergeseran pola masyarakat dari masyarakat gemeinschaft
menjadi masyarakat gesellschaft.
Di masyarakat gemeinschaft setiap orang berinteraksi
dengan orang-orang lain yang jumlahnya relatif sedikit. Mereka saling mengenal dengan baik satu sama
lain dalam berbagai peran berbeda. Pak
Dullah mengenal Pak Benny tidak saja sebatas peran dan kapasitas Pak Benny
sebagai seorang guru, misalnya; tetapi
selain itu juga mengenal Pak Benny sebagai suami Ibu Tika, sebagai ayah Si
Tini, sebagai pemilik ladang di seberang sungai dan seterusnya.
Sementara itu, di masyarakat gesellschaft setiap orang
ber-interaksi dengan orang-orang lain yang jumlahnya jauh lebih banyak, tetapi
interaksi ini sangat terbatas pada kegiatan-kegiatan instrumental yang
spesifik (kegiatan-kegiatan untuk mencapai maksud tertentu yang sangat
spesifik, yaitu : pertukaran barang dan
jasa tertentu). Setiap orang tidak
mengenal atau tidak mengetahui banyak tentang orang-orang lain dengan siapa dia
berinteraksi. Pengenalannya atas
orang-orang lain hanya sebatas peran spesifik yang dilakukan orang tersebut,
misalnya : guru sekolah di mana anaknya
bersekolah, pramuniaga di toko swalayan dan sebagainya.
Pengenalan atas orang-orang lain di luar batas-batas peran spesifik itu
sudah menjadi tidak penting. Bahkan
upaya untuk mencobanya sering memperoleh tanggapan negatif dari pihak
lain. Keinginan Bapak Benny untuk
mengenal Si Wati lebih jauh dari sekedar seorang pramuniaga dengan menanyakan
alamat dan nama orangtuanya, sangat mungkin akan ditanggapi negatif dengan
mengatakan : “Ada urusan apa Bapak ingin tahu
nama orangtua saya..?”, atau mengatakan :
“Bapak ini genit..?”
Seluruh pranata masyarakat moderen yang berbasis industrial kapitalistik
yang diciptakan oleh welfare state dibangun dengan pendekatan yang
berbasis pada ‘kebutuhan akan orang-orang yang tidak dikenal’ (the
needs of strangers). Dalam
rangka menyediakan pelayanan insani, negara mengembangkan sejumlah besar
birokrasi dan mempekerjakan sejumlah besar tenaga kerja yang ‘semakin
profesional’.
Orang-orang kemudian beranggapan bahwa daripada harus ikut
bertanggungjawab dalam memenuhi bebutuhan insani tetangga, sebagai warga negara
lebih baik bertanggungjawab membayar pajak dan retribusi, sehingga dengan
menggunakan uang pajak dan retribusi itu negara dapat membiayai birokrasi dan
membayar gaji ‘para ahli’ dan ‘tenaga profesional’ untuk
melakukan pekerjaan itu. Dengan cara
ini, tanggungjawab atas berbagai pelayanan insani dipindahkan dari warga
masyarakat kepada para ahli dan profesional yang dibiayai oleh warga
masyarakat melalui pembayaran berbagai pajak, retribusi dan pungutan lainnya
kepada negara.
Penerapan pendekatan mekanisme pasar dalam rangka
memenuhi kebutuhan insani juga telah memperparah keadaan. Satu keluarga yang suatu ketika mempunyai
anggota keluarga yang mengalami sakit parah, tidak butuh bantuan tetangga
untuk mengantar si sakit ke rumahsakit, asalkan keluarga itu mampu membayar ambulance. Masyarakat merasa tidak perlu
bertanggungjawab untuk mengurusi limbah domestik yang mereka hasilkan karena
sudah membayar retribusi sampah untuk membiayai Dinas Kebersihan melakukan
pekerjaan itu. Masyarakat tidak perlu
peduli jika ada anggotanya yang mengalami gangguan mental karena sudah ada
Rumahsakit Jiwa untuk melakukan pekerjaan itu.
Masyarakat tidak perlu menghimpun dana swadaya gotong-royong untuk
menolong warga-nya yang miskin, karena sudah ada Dinas Sosial, Departemen
Koperasi dan PPK, BKKBN, MENKOP PPK, MENKO KESRA dan sebagainya, yang lebih
profesional dan sudah dibiayai oleh negara untuk melakukan pekerjaan itu.
Persoalannya adalah, ternyata terbukti di hampir
semua negara ‘welfare state’, pertanyaan-pertanyaan mendasar
berikut ini selalu mendapat jawaban sangat tidak memuaskan.
Benarkah Dinas Kebersihan sudah ‘profesional’
mengurusi sampah kota dengan menggunakan uang pajak dan retribusi yang dibayar
oleh masyarakat..?
Benarkah Dinas Sosial, Kantor Menko Kesra, Depkop
dan PPK sudah ‘profesional’ mengurus yatim piatu, kaum jompo, tuna
grahita, dan anggota masyarakat miskin..?
Benarkah Dinas Penerangan, Humas-humas Pemerintah
dan Depdiknas sudah ‘profesional’ menyediakan informasi dan mengurus
pendidikan – mencerdaskan kehidupan bangsa..?
Uraian dan jawaban-jawaban tidak memuaskan di atas
membuktikan begitu banyak kebutuhan insani yang tidak dapat dipenuhi dengan
model pelayanan sentralistik yang bertumpu pada negara, pola industrial
kapitalistik dan mekanisme pasar. Karena
itu, suatu pendekatan lain dalam pemenuhan kebutuhan akan layanan insani (human
services) sangat diperlukan.
Pendekatan itu adalah pelayanan yang bertumpu pada komunitas (community-based
services).
Pemenuhan kebutuhan pelayanan insani yang bertumpu
pada komunitas tidak mungkin dilakukan oleh struktur negara, industrial
kapitalistik dan pasar. Untuk itu dibutuhkan
struktur komunitas yang sesuai. Dalam rangka membangun struktur
komunitas yang sesuai itulah upaya pengembangan komunitas (community
development) sangat penting dan diperlukan.
D. Dua
Sudut Pandang Pengembangan Komunitas
Terdapat dua sudut pandang utama terhadap pengembangan komunitas, yaitu
: sudut pandang ekologis (ecological)
dan sudut pandang keadilan sosial (social justice) yang akan
dijelaskan lebih lanjut pada halaman berikut.
1. Sudut pandang ekologis
Dari
sudut pandang ini, kebutuhan akan pengembangan komunitas adalah akibat dari
kegagalan struktur negara, industrial kapitalistik, dan pasar dalam
penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan diyakini hanya dapat diselenggarakan dengan
mengikuti prinsip-prinsip ekologi. Di
samping itu, tidak dapat disangkal bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
juga merupakan salah satu kebutuhan insani yang sangat hakiki.
Para pegiat perlindungan
dan pelestarian lingkungan hidup (the greens) menganggap bahwa
struktur negara, industrial kapitalistik dan pasar tidak mungkin
menyelenggarakan pembangunan yang berkelanjutan. Selalu saja, berbagai
persoalan ketidakberlanjutan ditanggapi dan disikapi dengan pendekatan dan
upaya-upaya yang juga tidak berkelanjutan.
Cukup banyak contoh faktual yang dapat
diajukan sebagai argumentasi untuk hal tersebut. Salah satunya misalnya, ketidakberlanjutan
fungsi transportasi di kota-kota ditanggapi dan disikapi dengan
pendekatan-pendekatan yang tidak berkelanjutan (misalnya : dengan perlebaran jalan dan pengaturan arus
lalu-lintas). Kekurangan prasarana dan
sarana di perkotaan sebagai salah satu wujud dari ketidakberlanjutan disikapi
dan ditanggapi dengan melaksanakan pembangunan yang “lapar tanah”. Kota-kota (polis) segera berubah wujud tak
terkendali menjadi kota metro (metropolitan) dan kota mega (megapolitan) yang
seringkali tak lebih dari sekedar sebuah ‘desa raksasa’ yang ‘rakus’
dan ‘lapar akan segala sumberdaya.
Keadaan sebagaimana diuraikan di atas
memperkuat keyakinan (setidaknya bagi para the greens) bahwa
pembangunan berkelanjutan sebagai kebutuhan insani utama hanya dapat dilakukan
oleh struktur komunitas yang sesuai.
Karena itu diperlukan upaya pengembangan komunitas untuk mewujudkan
struktur itu.
2. Sudut pandang keadilan sosial
Pembangunan yang tidak berkelanjutan
nampaknya juga dapat menimbulkan ketidakadilan sosial. Kembali ke contoh ‘desa-desa raksasa’
seperti diuraikan di muka, kota-kota yang tidak berkelanjutan itu semakin lama
semakin menyerupai gurita yang menghisap segala sumberdaya dari sekelilingnya
untuk membiayai upaya-upaya yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi segala
persoalan ketidakberlanjutannya.
Kota Jakarta
misalnya, membangun jalan sampai bertingkat tiga untuk mengatasi persoalan
kemacetan lalu-lintas. Bahkan seluruh
Pulau Jawa melakukan upaya-upaya senada dalam memenuhi berbagai kebutuhan
prasarana dan sarananya. Semua itu tentu
saja dilakukan atas beban biaya material dan biaya sosial yang ditanggung oleh
luar Jawa. Itulah sebabnya perasaan ketidakadilan
sosial diungkapkan oleh orang Kalimantan dan Papua dengan mengatakan : “Di Jakarta tidak ada sungai tetapi
jembatan dibangun bahkan sampai bertingkat tiga. Sementara di Kalimantan dan di Papua banyak
sungai tetapi sangat sedikit jembatan yang dibangun”.
Sudut pandang keadilan sosial
secara khusus mempersoalkan enam aspek penting sebagai berikut :
a.
ketidakberuntungan atau ketidakberdayaan
struktural (structural disadvantage),
b.
kebutuhan (needs),
c.
hak (rights),
d.
kedamaian dan anti-kekerasan (peace and
non-violence),
e.
demokrasi partisipatif (participatory
democracy), dan
f.
pemberdayaan (empowerment).
Masing-masing aspek tersebut di atas dibahas
lebih rinci sebagai berikut ini.
a. Ketidakberuntungan
struktural (structural disadvantage)
Ketidakberuntungan struktural dapat dipahami
lagi dari berbagai sudut pandang, yaitu :
sudut pandang individual, sudut pandang reformis
kelembagaan, sudut pandang struktural, dan sudut
pandang pasca struktural.
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.
Þ Sudut pandang individual menilai bahwa
ketidak-beruntungan itu disebabkan oleh orang yang mengalaminya sendiri. Seseorang dapat menjadi tidak beruntung
karena dia memiliki masalah yang bersumber dari dirinya sendiri, misalnya : menderita/mengidap penyakit atau kekurangan
tertentu (psikologis, biologis atau moral).
Karena itu untuk mengatasinya harus dilakukan pendekatan
individual misalnya dengan pengobatan atau terapi psikologis, biologis atau
penasehatan (konseling). Pandangan ini
mengabaikan banyak faktor luar yang selalu saja dapat membuat seseorang menjadi
tidak berdaya. Karena itu pandangan
terhadap ketidakberdayaan seperti ini disebut pandangan yang mempersalahkan
si korban (blame the victim).
Þ Sudut pandang reformis kelembagaan beranggapan
bahwa ketidakberdayaan disebabkan oleh berbagai sistem kelembagaan yang ada di
masyarakat yang seharusnya melayani masyarakat itu sendiri, misalnya : sistem pendidikan yang diskriminatif, sistem
peradilan yang korup, sistem ekonomi yang menjauhi keberpihakan kepada orang
miskin dan sebagainya. Seharusnya setiap
kelembagaan di masyarakat harus dibangun untuk melayani masyarakat itu
sendiri. Karena berbagai kelembagaan itu
gagal, maka sudut pandang terhadap ketidakberdayaan ini disebut juga sudut
pandang yang mempersalahkan si penolong (blame the rescuer).
Þ Sudut pandang struktural beranggapan
bahwa ketidak-berdayaan disebabkan oleh adanya struktur sosial yang tidak adil
dan menekan, misalnya : sistem
kapitalistik, patriarchat, kasta, perbudakan, rasialisme dan berbagai bentuk
diskriminasi lainnya. Karena itu, sudut pandang terhadap
ketidakberdayaan yang demikian disebut sebagai sudut pandang yang mempersalahkan
sistem (blame the system).
Þ Sudut
pandang pasca-struktural
beranggapan bahwa ketidakberdayaan disebabkan oleh wacana (discourse)
yang berhubungan dengan bidang/masalah tertentu, contohnya : penggunaan bahasa tertentu dalam suatu
bidang, cara memberi makna (interpretasi) terhadap sesuatu, pembentukan dan
cara-cara penggunaannya dalam mengendalikan dan mendominasi proses penentu-an
kesesuaian terhadap suatu standard tertentu – perilaku yang dapat diterima dan
sebagainya. Karena itu sudut pandang
terhadap ketidakberdayaan yang demikian disebut sebagai sudut pandang yang mempersalahkan
wacana (blame the discourse).
Sekalipun ketidakberdayaan secara faktual dapat dipandang disebabkan
oleh keempat faktor-faktor yang disebut di atas, umumnya upaya pengembangan
komunitas hanya dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dari sudut
pandang reformis kelembagaan dan sudut pandang struktural. Dengan kata lain, upaya-upaya pengembangan
komunitas kebanyak-an dilakukan dengan pendekatan blame the rescuer
dan blame the sistem.
Karena itu, banyak upaya pengembangan komunitas yang dilakukan dalam
bentuk peluncuran program-program yang lebih baik, penyediaan pelayanan dan
fasilitas umum di skala komunitas, dan berbagai bentuk upaya perubahan
struktural menuju sistem/tatanan sosial yang lebih adil.
b. Kebutuhan (needs)
Ada dua alasan mengapa kebutuhan (needs)
sangat men-dasar dalam keadilan sosial dan pengembangan komunitas. Yang pertama, setiap orang atau setiap
komunitas memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi. Yang kedua, mereka harus dimungkinkan
untuk mendefinisikan dan mengungkapkan kebutuhannya itu – bukan didefinisikan
dan ditentukan oleh pihak lain.
Fakta menunjukkan bahwa kekeliruan terbesar yang umum terjadi dan selalu
berulang dalam pelaksanaan pembangunan yang sebenarnya ditujukan untuk
kemaslahatan komunitas adalah bermula pada tahap pendugaan kebutuhan (needs
assessment). Para ‘ahli
pembangunan’ beranggapan bahwa kebutuhan haruslah obyektif, nyata
dan terukur. Akibatnya penentuan
kebutuhan haruslah dilakukan metodologi teknis ilmiah yang tentu
saja memerlukan keahlian teknis ilmiah tertentu. Itulah sebabnya mengapa proses penentuan
kebutuhan akan layanan pembangunan dipindahkan dari komunitas yang
sungguh-sungguh merasakan kebutuhan itu ke tangan ‘para ahli penentu
kebutuhan’ yang ‘profesional’.
Proses dan berbagai
metodologi penentuan kebutuhan seperti disebut di atas tidak saja telah banyak
menghasilkan berbagai proyek yang pada akhirnya benar-benar tidak dibutuhkan,
tetapi juga mengakibatkan penidakmampuan (disabbling), pelemahan
(disempowerment), pembodohan dan penyangkalan atas hak-hak
seseorang atau suatu komunitas untuk menentukan dan menyatakan sendiri
kebutuhannya.
Namun demikian, patut
juga dicamkan bahwa kebutuhan harus dibedakan atas dua tipe, yaitu :
§ Kebutuhan yang sesungguhnya, yaitu kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh
seseorang atau suatu komunitas untuk mencapai potensi utuh kemanusiaan dan yang
akan dinyatakan dan diungkapkan jika terbuka peluang untuk melakukannya.
§ Kebutuhan semu, yaitu kebutuhan yang didorong oleh faktor-faktor lain
seperti ideologi yang dominan, media massa, rayuan iklan (promosi), sistem
pendidikan dan sebagainya. Kebutuhan
semu sangat mungkin merupakan kebutuhan yang dijejal-jejalkan
oleh para perencana dan pengelola pembangunan, konsultan, para
ahli, profesional dan bahkan mungkin oleh para pekerja
pengembangan komunitas.
Sesungguhnya peran para
profesional, perencana dan pengelola pembangunan, konsultan dan sejenisnya
adalah membantu komunitas dalam merumuskan dan menyatakan kebutuhan komunitas
itu sendiri. Hal ini mungkin dilakukan
dengan memindahkan metoda, keahlian yang dibutuhkan untuk itu kepada komunitas
dan memfasilitasi proses pe-laksanaannya, tetapi jangan pernah memainkan peran
dengan asumsi bahwa merekalah yang bertanggungjawab untuk menentukan kebutuhan
orang atau suatu komunitas.
c. Hak (rights)
Keadilan sosial menuntut adanya keadilan dan kesetaraan untuk memenuhi
kebtuhan sosial. Pemahaman atas hak
adalah basis utama untuk memahami keadilan sosial. Namun, perlu dicamkan bahwa tidak
pernah ada hak yang benar-benar bebas tak terikat dengan kewajiban, tugas,
tuntutan, tanggungjawab, dan keharusan yang berkenaan dengan hak tersebut. Yang paling mendasar adalah keharusan
untuk tidak menghalangi orang/pihak lain memperoleh haknya. Itulah sebabnya pada hak setiap orang untuk
bebas berbicara, mengemukakan pikiran dan pendapat melekat kewajiban untuk
tidak menghalangi orang lain berbicara, mengemukakan pikiran dan pendapat. Pada setiap hak untuk memilih (memberi suara)
melekat kewajiban dan keharusan memahami segala konsekuensi atas pilihan
itu. Dengan kata lain, para pemilih
haruslah cukup memahami politik sebelum memberikan suara. Pada hak setiap orang untuk memperoleh
pendidikan yang baik melekat kewajiban untuk menggunakan hasil pendidikan itu
bagi kemaslahatan orang lain. Karena
itu, tugas penting para pekerja pengembangan komunitas adalah membantu
komunitas mengetahui hak-hak dan segala kewajiban, keharusan, tanggungjawab,
tuntutan dan tugas yang melekat pada setiap hak yang mereka miliki itu.
d. Kedamaian dan anti-kekerasan (peace and
non-violence)
Kedamaian dapat
dipahami secara sederhana sebagai suatu keadaan di mana tidak ada perasaan
tertekan, terpaksa dan konflik. Di
sini tidak hanya kekerasan fisik dan kekerasan emosional yang dilakukan oleh
oleh individu, tetapi termasuk juga ‘kekerasan yang melembaga’ seperti
diskriminasi berbasis kebangsaan, ras/etnis, jender, dan agama.
Hambatan terbesar dalam
mewujudkan kedamaian dan anti-kekerasan adalah pola-pola persaingan yang
telah melembaga di masyarakat moderen (khususnya di perkotaan). Dan karena itu
pekerjaan pengembangan komunitas sangat memerlukan keterampilan mengelola
konflik, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut pada materi lainnya tentang itu.
e. Demokrasi partisipatif (participatory
democracy)
Demokrasi berasal dari kata Bahasa Yunani, yaitu : demos dan kratein
yang masing-masing berarti rakyat dan kedaulatan,
sehingga demokrasi diartikan secara sederhana sebagai kedaulatan atau
kekuasaan di tangan rakyat.
Demokrasi berkaitan dengan proses politik, yaitu proses dalam
pengambilan keputusan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan hajad hidup
orang banyak (kepentingan bersama). Ada dua tipe demokrasi,
yaitu : demokrasi perwakilan
(representational democracy) dan demokrasi partisipatif (paticipatory
democracy).
Demokrasi perwakilan
Dalam prakteknya, sekalipun dalam masyarakat yang paling kecil
sekalipun, sulit melibatkan semua orang untuk ikutserta dalam proses
pengambilan keputusan untuk semua hal.
Karena itu, suatu cara ditentukan untuk mewakilkan proses pengambilan
keputusan itu kepada para wakil yang dipilih oleh masyarakat.
Persoalannya adalah bahwa para wakil (representative) lebih suka
memperlakukan mandat (amanah) yang diterimanya dari para pemilihnya sebagai
suatu kewenangan (kekuasaan) yang tidak perlu dipertanggung-jawabkan kembali
kepada para pemilih sebagai pemberi mandat.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah terpilih, para wakil ini
segera berubah menjadi elitis, semakin jauh dari masyarakat
pemilih yang diwakilinya, dan keputusan-keputusan mereka bahkan acap kali tidak
mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat pemilihnya. Fakta menunjukkan bahwa dari skala global,
nasional, sampai skala komunitas demokrasi perwakilan telah menjadi jalan bagi
proses pemindahan kekuatan/daya (power) dari masyarakat banyak (rakyat)
secara efektif dan pasti; sehingga para
elite menjadi pemilik kekuatan/daya (power) dan rakyat menjadi tidak
berdaya. Dengan kata lain, demokrasi
perwakilan selalu menjadi jalan baik menuju pelemahan (disempowerment)
rakyat/ komunitas dan sekaligus menjadi jalan menuju proses penguatan (empowerment)
bagi segelintir orang (para elite).
Struktur komunitas yang
elitis dan sentralistik adalah salah satu bidang
garapan utama pemberdayaan komunitas.
Tak ada pilihan selain menggusur demokrasi perwakilan dan menggantikannya dengan demokrasi
partisipatif.
Demokrasi partisipatif
Di dalam demokrasi partisipatif, masyarakat terlibat langsung di dalam
proses pengambilan keputusan. Karena itu
dapat dipahami bahwa demokrasi partisipatif memerlukan adanya desentralisasi,
akuntabilitas, pendidikan dan kesadaran akan segala hak
dan kewajiban.
Desentralisasi berarti bahwa
fungsi-fungsi terpusat hanya diarahkan pada aspek-aspek koordinasi, penyediaan
informasi dan sumberdaya serta segala pendukung bagi pelaksanaan desentralisasi
itu sendiri.
Akuntabilitas dalam
pandangan kuno selalu dipahami sebagai arus pertanggungjawaban yang bergerak
dari bawah ke atas atau ke pusat.
Struktur birokrasi yang berada di bagian paling bawah hierarki harus
bertanggungjawab kepada struktur yang berada di atas dan seterusnya. Pelaksanaan demokrasi partisipatif justeru
memerlukan akuntabilitas yang bergerak dari atas ke bawah dan ke samping. Dalam hal ini, maka para elite harus
bertanggungjawab kepada masyarakat pemilihnya dan kepada sesamanya.
Pendidikan mutlak
dilakukan menuju demokrasi partisipatif. Jika masyarakat harus berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan, mereka harus memahami betul apa yang hendak
diputuskan dan konsekuensi apa yang mungkin timbul dari masing-masing
alternatif keputusan yang tersedia. Ini
memerlukan pendidikan dalam arti yang luas.
Tanpa pendidikan, demokrasi partisipatif tidak mungkin berlangsung. Itulah sebabnya mengapa salah satu peran
penting yang harus dimainkan oleh para pekerja pengembangan komunitas adalah kelompok
peran kependidikan. Kelompok
peran-peran penting yang umumnya dimainkan oleh para pekerja pengembangan
komunitas yang terbaik akan diuraikan lebih lanjut pada materi lainnya
Kewajiban sebagaimana
telah dibahas pada sub bab tentang hak (rights), selalu
melekat pada setiap hak yang dimiliki oleh setiap orang atau sekelompok
orang. Karenanya, dalam setiap hak yang
dimiliki olah para anggota komunitas untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan melekat kewajiban para anggota komunitas itu untuk
memahami dengan baik segala sesuatu yang berkenaan dengan keputusan dan segala
konsekuensinya.
[ ]