Mau belajar bisnis online??Klik aja link di bawah ini!!

Kamis, 20 Januari 2011

Pengertian Dasar Community Development


Upaya Pengembangan Komunitas (Community Development/CD) telah banyak dilakukan; Atau setidaknya diakui oleh berbagai pihak telah berpengalaman melakukannya.  Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa cukup banyak pihak yang sesungguhnya belum cukup memahami makna pengembangan komunitas itu sendiri; Falsafahnya, prinsip-prinsipnya dan berbagai aspek terkait lainnya.  Seringkali pengertian atas berbagai istilah yang terkait dengan pengembangan komunitas itu dipahami sama atau bahkan dicampur-adukkan satu sama lain.  Karena itu sebelum mampu melakukan pengembangan komunitas dengan baik, adalah penting bagi setiap orang untuk memahami beberapa istilah dasar yang berkaitan dengan itu.


A.      Masyarakat (Society) dan Komunitas (Community)

Banyak orang yang selalu saja mencampur-adukkan pengertian dari kedua istilah ini, yaitu :  masyarakat (society) dengan komunitas (community).  Itulah sebabnya mengapa istilah Community Development sering diterjemahkan begitu saja sebagai Pengembangan Masyarakat.  Kedua istilah ini memang menunjuk pada sekumpulan makhluk sejenis.  Tetapi yang pasti adalah bahwa masyarakat selalu mengandung pengertian yang lebih luas daripada komunitas.  Dengan kata lain, komunitas selalu merupakan bagian yang lebih kecil dari suatu masyarakat.

Masyarakat adalah sekumpulan makhluk sejenis, dan komunitas adalah sekumpulan makhluk sejenis yang memiliki ciri-ciri yang relatif sama (seragam).  Untuk memahami perbedaan antara kedua istilah tersebut, mungkin lebih mudah dengan memperhatikan contoh-contoh yang akan diuraikan dengan bantuan skema pada Gambar 1 dan Gambar 2 pada halaman berikutnya.

Masyarakat Indonesia jika dipandang dari berbagai agama yang dianut (dipeluk) dapat disebut terdiri dari berbagai komunitas, misalnya :  komunitas Islam, komunitas Kristen, komunitas Hindu dan sebagainya (Gambar 1).

Sering juga orang menggunakan istilah masyarakat untuk menunjuk pada suatu komunitas.  Memang tidak terlalu salah;  dan dalam hal demikian maka dapat disebut bahwa Masyarakat Islam Indonesia misalnya, terdiri dari berbagai komunitas, yaitu :  Komunitas Nahdlatul Ulama, Komunitas Muhammadiyah, Komunitas Wahidiyah dan sebagainya (Gambar 2).

Ciri-ciri yang relatif sama dapat ditentukan atas berbagai aspek, sehingga cakupan suatu masyarakat maupun cakupan suatu komunitas dapat digeser mulai dari yang sangat umum sampai yang sangat spesifik.  Inilah yang mengakibatkan campur-aduk pengertian kedua istilah tersebut sering terjadi.  Yang pasti, bahwa istilah komunitas selalu menunjuk pada sekelompok anggota masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang relatif sama, dan ciri-ciri tersebut lebih spesifik daripada ciri-ciri anggota masyarakat.  Komunitas selalu merupakan bagian yang lebih kecil dari suatu masyarakat.

Contoh lain, menunjuk pada Masyarakat Jakarta yang dapat terdiri dari beberapa komunitas penduduk relatif sama berdasarkan kelurahan tempat tinggal, misalnya :  Komunitas Etnis Betawi, Komunitas Etnis Batak, dan sebagainya (Gambar 3).


Untuk tujuan dan konteks bahasan yang akan diuraikan dalam tulisan ini, dipilih penggunaan istilah ‘komunitas’.  Selain karena mengambil terjemahan langsung dari istilah ‘community’, juga dengan alasan bahwa komunitas menunjuk kepada suatu bagian dari masyarakat yang relatif lebih spesifik.  Karena itu, untuk tulisan ini digunakan istilah ‘pengembangan komunitas’ sebagai terjemahan langsung dari istilah ‘community development’.





B.     Definisi Beberapa Istilah Umum Terkait Dengan Pengembangan Komunitas

Jim Ife adalah seorang anggota/pengurus Australian Association of Social Worker (AASW) dan juga sebagai anggota International Federation of Social Worker (IFSW), pada tahun 1995 menerbit-kan sebuah buku tentang pengembangan komunitas, yang sampai saat ini dikenal sebagai buku paling komprehensif membahas tentang pengembangan komunitas.  Jim Ife mengajukan definisi untuk berbagai istilah penting yang berkaitan dengan pengembangan komunitas di antaranya sebagai berikut :

1.      Community-based services diterjemahkan sebagai pelayanan yang bertumpu pada komunitas, adalah struktur dan proses pemenuhan kebutuhan insani (manusia) dengan mengutamakan sumberdaya, keahlian, dan kearifan komunitas itu sendiri.

Definisi tersebut di atas erat kaitannya dengan berbagai istilah yang telah dikenal, misalnya :  pembangunan yang bertumpu pada komunitas (community-based development) dan pembangunan perumahan yang bertumpu pada komunitas (community-based housing).

2.      Community development diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pengembangan komunitas, adalah proses membangun, atau membangun kembali struktur komunitas insani di mana cara-cara baru untuk berhubungan antar pribadi, mengorganisasikan kehidupan sosial, dan memenuhi kebutuhan insani menjadi lebih dimungkinkan.

3.      Community works diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pekerjaan pengembangan komunitas, adalah kegiatan atau praktek-praktek yang dilakukan oleh seseorang yang berupaya memfasilitasi proses pengembangan komunitas, tanpa memandang apakah orang tersebut menerima imbalan (bayaran/upah) maupun tidak.



4.      Community worker diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pekerja pengembangan komunitas, adalah setiap orang yang berupaya memfasilitasi proses pengembangan komunitas, tanpa memandang apakah seseorang itu memperoleh imbalan (bayaran/upah) maupun tidak.

Definisi-definisi dasar di atas, hendaknya dipahami juga oleh para pelaksana pengembangan komunitas oleh setiap corporate.  Dengan kata lain, semua pihak yang terlibat sebagai pelaksana pengembangan komunitas baik secara langsung maupun tak langsung (bila perlu termasuk para pejabat manajemen puncak di suatu corporate) memahami instilah dasar pengembangan komunitas tersebut.

Dengan definisi ini pula, hendaknya dipahami bahwa setiap orang di dalam suatu corporate yang terlibat dalam pelaksanaan upaya-upaya corporate dalam rangkan pengembangan komunitas (teristimewa pada Community Development Officer) adalah para pekerja pengembangan komunitas.  Hal ini perlu ditegaskan karena di dalam pelaksanaan kegiatannya sehari-hari sebutan (bahkan status) atau citra diri sebagai ‘pekerja pengembangan komunitas’ dan ‘pengembangan komunitas’ sangat menentukan..



C.     Mengapa Pengembangan Komunitas Menjadi Penting..?

Dorongan kuat yang menyebabkan perlunya pengembangan komunitas adalah kegagalan negara-negara yang disebut sebagai ‘negara yang bertujuan mengupayakan kemakmuran rakyat’ (welfare state).  Merujuk pada Mukadimah UUD 1945, dapat ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah salah satu dari negara yang harus disebut sebagai welfare state tersebut.

Tidak hanya di Indonesia, sejak lama sebenarnya telah terbukti bahwa negara-negara welfare state telah gagal mengupayakan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial (social justice) bagi rakyatnya.  Di Indonesia, puncak kegagalan tersebut nampak menjadi sangat dirasakan bersamaan dengan mulainya masa krisis moneter yang terjadi pada pertengahan Tahun 1997.  Kesenjangan perolehan pendapatan, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pertumbuhan jumlah pengangguran angkatan kerja produktif adalah beberapa di antara indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kegagalan tersebut.

Sedikitnya terdapat dua faktor paling rasional yang dapat di-sebutkan sebagai penyebab kegagalan hampir di semua welfare state tersebut, yaitu :

1.      Terlalu banyak urusan yang berkaitan dengan pelayanan insani (human services) yang tidak mungkin efektif dan efisien jika pemenuhannya diupayakan secara sentralistik dengan menggunakan mekanisme negara.  Jenjang dan jalur birokrasi yang begitu panjang di dalam pranata negara tidak mungkin mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk berbagai hal.

2.      Pola pembangunan industri yang kapitalistik yang diadopsi oleh hampir semua welfare state telah menciptakan masyarakat industrial yang kehilangan identitas komunitas karena hancurnya struktur komunitas terutama komunitas tradisional.

Kedua hal tersebut di atas terjadi karena industri yang kapitalistik memerlukan dan sekaligus mengakibatkan :

§    mobilitas angkatan kerja produktif yang sangat tinggi,
§    mobilitas individu yang sangat tinggi,
§    tingkat konsumsi per individu dan per keluarga yang semakin membumbung,
§    dominasi ideologi individualistik yang semakin kental dan kuat.

Mobilitas angkatan kerja produktif dan individu terjadi sekaligus dalam dua bentuknya, yaitu : secara horisontal maupun vertikal.  Mobilitas secara horisontal diwujudkan terutama dalam bentuk urbanisasi;  dan mobilitas vertikal diwujudkan dalam bentuk peningkatan status sosial dan ekonomi.  Kedua tipe mobilitas tersebut, baik secara langsung maupun tak langsung telah mengakibatkan begitu banyak individu yang kemudian terpisah dan berpisah dari keluarga, meninggalkan adat-istiadat dan komunitas asalnya.  Mereka berubah menjadi individualistik – semakin kurang memperdulikan orang lain dan bahkan semakin tidak religius.  Proses ini telah mengakibatkan pergeseran pola masyarakat dari masyarakat gemeinschaft menjadi masyarakat gesellschaft.

Di masyarakat gemeinschaft setiap orang berinteraksi dengan orang-orang lain yang jumlahnya relatif sedikit.  Mereka saling mengenal dengan baik satu sama lain dalam berbagai peran berbeda.  Pak Dullah mengenal Pak Benny tidak saja sebatas peran dan kapasitas Pak Benny sebagai seorang guru, misalnya;  tetapi selain itu juga mengenal Pak Benny sebagai suami Ibu Tika, sebagai ayah Si Tini, sebagai pemilik ladang di seberang sungai dan seterusnya.

Sementara itu, di masyarakat gesellschaft setiap orang ber-interaksi dengan orang-orang lain yang jumlahnya jauh lebih banyak, tetapi interaksi ini sangat terbatas pada kegiatan-kegiatan instrumental yang spesifik (kegiatan-kegiatan untuk mencapai maksud tertentu yang sangat spesifik, yaitu :  pertukaran barang dan jasa tertentu).  Setiap orang tidak mengenal atau tidak mengetahui banyak tentang orang-orang lain dengan siapa dia berinteraksi.  Pengenalannya atas orang-orang lain hanya sebatas peran spesifik yang dilakukan orang tersebut, misalnya :  guru sekolah di mana anaknya bersekolah, pramuniaga di toko swalayan dan sebagainya.

Pengenalan atas orang-orang lain di luar batas-batas peran spesifik itu sudah menjadi tidak penting.  Bahkan upaya untuk mencobanya sering memperoleh tanggapan negatif dari pihak lain.  Keinginan Bapak Benny untuk mengenal Si Wati lebih jauh dari sekedar seorang pramuniaga dengan menanyakan alamat dan nama orangtuanya, sangat mungkin akan ditanggapi negatif dengan mengatakan :  “Ada urusan apa Bapak ingin tahu nama orangtua saya..?”, atau mengatakan :  “Bapak ini genit..?

Seluruh pranata masyarakat moderen yang berbasis industrial kapitalistik yang diciptakan oleh welfare state dibangun dengan pendekatan yang berbasis pada ‘kebutuhan akan orang-orang yang tidak dikenal’ (the needs of strangers).  Dalam rangka menyediakan pelayanan insani, negara mengembangkan sejumlah besar birokrasi dan mempekerjakan sejumlah besar tenaga kerja yang ‘semakin profesional’.

Orang-orang kemudian beranggapan bahwa daripada harus ikut bertanggungjawab dalam memenuhi bebutuhan insani tetangga, sebagai warga negara lebih baik bertanggungjawab membayar pajak dan retribusi, sehingga dengan menggunakan uang pajak dan retribusi itu negara dapat membiayai birokrasi dan membayar gaji ‘para ahli’ dan ‘tenaga profesional’ untuk melakukan pekerjaan itu.  Dengan cara ini, tanggungjawab atas berbagai pelayanan insani dipindahkan dari warga masyarakat kepada para ahli dan profesional yang dibiayai oleh warga masyarakat melalui pembayaran berbagai pajak, retribusi dan pungutan lainnya kepada negara.

Penerapan pendekatan mekanisme pasar dalam rangka memenuhi kebutuhan insani juga telah memperparah keadaan.  Satu keluarga yang suatu ketika mempunyai anggota keluarga yang mengalami sakit parah, tidak butuh bantuan tetangga untuk mengantar si sakit ke rumahsakit, asalkan keluarga itu mampu membayar ambulance.  Masyarakat merasa tidak perlu bertanggungjawab untuk mengurusi limbah domestik yang mereka hasilkan karena sudah membayar retribusi sampah untuk membiayai Dinas Kebersihan melakukan pekerjaan itu.  Masyarakat tidak perlu peduli jika ada anggotanya yang mengalami gangguan mental karena sudah ada Rumahsakit Jiwa untuk melakukan pekerjaan itu.  Masyarakat tidak perlu menghimpun dana swadaya gotong-royong untuk menolong warga-nya yang miskin, karena sudah ada Dinas Sosial, Departemen Koperasi dan PPK, BKKBN, MENKOP PPK, MENKO KESRA dan sebagainya, yang lebih profesional dan sudah dibiayai oleh negara untuk melakukan pekerjaan itu.

Persoalannya adalah, ternyata terbukti di hampir semua negara ‘welfare state’, pertanyaan-pertanyaan mendasar berikut ini selalu mendapat jawaban sangat tidak memuaskan.

Benarkah Dinas Kebersihan sudah ‘profesional’ mengurusi sampah kota dengan menggunakan uang pajak dan retribusi yang dibayar oleh masyarakat..?

Benarkah Dinas Sosial, Kantor Menko Kesra, Depkop dan PPK sudah ‘profesional’ mengurus yatim piatu, kaum jompo, tuna grahita, dan anggota masyarakat miskin..?

Benarkah Dinas Penerangan, Humas-humas Pemerintah dan Depdiknas sudah ‘profesional’ menyediakan informasi dan mengurus pendidikan – mencerdaskan kehidupan bangsa..?

Uraian dan jawaban-jawaban tidak memuaskan di atas membuktikan begitu banyak kebutuhan insani yang tidak dapat dipenuhi dengan model pelayanan sentralistik yang bertumpu pada negara, pola industrial kapitalistik dan mekanisme pasar.  Karena itu, suatu pendekatan lain dalam pemenuhan kebutuhan akan layanan insani (human services) sangat diperlukan.  Pendekatan itu adalah pelayanan yang bertumpu pada komunitas (community-based services).

Pemenuhan kebutuhan pelayanan insani yang bertumpu pada komunitas tidak mungkin dilakukan oleh struktur negara, industrial kapitalistik dan pasar.  Untuk itu dibutuhkan struktur komunitas yang sesuai.  Dalam rangka membangun struktur komunitas yang sesuai itulah upaya pengembangan komunitas (community development) sangat penting dan diperlukan.



D.     Dua Sudut Pandang Pengembangan Komunitas

Terdapat dua sudut pandang utama terhadap pengembangan komunitas, yaitu :  sudut pandang ekologis (ecological) dan sudut pandang keadilan sosial (social justice) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada halaman berikut.

1.      Sudut pandang ekologis
Dari sudut pandang ini, kebutuhan akan pengembangan komunitas adalah akibat dari kegagalan struktur negara, industrial kapitalistik, dan pasar dalam penyelenggaraan pembangunan yang berkelanjutan.  Pembangunan berkelanjutan diyakini hanya dapat diselenggarakan dengan mengikuti prinsip-prinsip ekologi.  Di samping itu, tidak dapat disangkal bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat juga merupakan salah satu kebutuhan insani yang sangat hakiki.

Para pegiat perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup (the greens) menganggap bahwa struktur negara, industrial kapitalistik dan pasar tidak mungkin menyelenggarakan pembangunan yang berkelanjutan.  Selalu saja, berbagai persoalan ketidakberlanjutan ditanggapi dan disikapi dengan pendekatan dan upaya-upaya yang juga tidak berkelanjutan.

Cukup banyak contoh faktual yang dapat diajukan sebagai argumentasi untuk hal tersebut.  Salah satunya misalnya, ketidakberlanjutan fungsi transportasi di kota-kota ditanggapi dan disikapi dengan pendekatan-pendekatan yang tidak berkelanjutan (misalnya :  dengan perlebaran jalan dan pengaturan arus lalu-lintas).  Kekurangan prasarana dan sarana di perkotaan sebagai salah satu wujud dari ketidakberlanjutan disikapi dan ditanggapi dengan melaksanakan pembangunan yang “lapar tanah”.  Kota-kota (polis) segera berubah wujud tak terkendali menjadi kota metro (metropolitan) dan kota mega (megapolitan) yang seringkali tak lebih dari sekedar sebuah ‘desa raksasa’ yang ‘rakus’ dan ‘lapar akan segala sumberdaya.

Keadaan sebagaimana diuraikan di atas memperkuat keyakinan (setidaknya bagi para the greens) bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai kebutuhan insani utama hanya dapat dilakukan oleh struktur komunitas yang sesuai.  Karena itu diperlukan upaya pengembangan komunitas untuk mewujudkan struktur itu.

2.      Sudut pandang keadilan sosial
Pembangunan yang tidak berkelanjutan nampaknya juga dapat menimbulkan ketidakadilan sosial.  Kembali ke contoh ‘desa-desa raksasa’ seperti diuraikan di muka, kota-kota yang tidak berkelanjutan itu semakin lama semakin menyerupai gurita yang menghisap segala sumberdaya dari sekelilingnya untuk membiayai upaya-upaya yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi segala persoalan ketidakberlanjutannya.

Kota Jakarta misalnya, membangun jalan sampai bertingkat tiga untuk mengatasi persoalan kemacetan lalu-lintas.  Bahkan seluruh Pulau Jawa melakukan upaya-upaya senada dalam memenuhi berbagai kebutuhan prasarana dan sarananya.  Semua itu tentu saja dilakukan atas beban biaya material dan biaya sosial yang ditanggung oleh luar Jawa.  Itulah sebabnya perasaan ketidakadilan sosial diungkapkan oleh orang Kalimantan dan Papua dengan mengatakan :  “Di Jakarta tidak ada sungai tetapi jembatan dibangun bahkan sampai bertingkat tiga.  Sementara di Kalimantan dan di Papua banyak sungai tetapi sangat sedikit jembatan yang dibangun”.
Sudut pandang keadilan sosial secara khusus mempersoalkan enam aspek penting sebagai berikut :

a.         ketidakberuntungan atau ketidakberdayaan struktural (structural disadvantage),
b.        kebutuhan (needs),
c.         hak (rights),
d.        kedamaian dan anti-kekerasan (peace and non-violence),
e.         demokrasi partisipatif (participatory democracy), dan
f.          pemberdayaan (empowerment).

Masing-masing aspek tersebut di atas dibahas lebih rinci sebagai berikut ini.
a.      Ketidakberuntungan struktural (structural disadvantage)
Ketidakberuntungan struktural dapat dipahami lagi dari berbagai sudut pandang, yaitu :  sudut pandang individual, sudut pandang reformis kelembagaan, sudut pandang struktural, dan sudut pandang pasca struktural.  Masing-masing dijelaskan sebagai berikut.

Þ     Sudut pandang individual menilai bahwa ketidak-beruntungan itu disebabkan oleh orang yang mengalaminya sendiri.  Seseorang dapat menjadi tidak beruntung karena dia memiliki masalah yang bersumber dari dirinya sendiri, misalnya :  menderita/mengidap penyakit atau kekurangan tertentu (psikologis, biologis atau moral).  Karena itu untuk mengatasinya harus dilakukan pendekatan individual misalnya dengan pengobatan atau terapi psikologis, biologis atau penasehatan (konseling).  Pandangan ini mengabaikan banyak faktor luar yang selalu saja dapat membuat seseorang menjadi tidak berdaya.  Karena itu pandangan terhadap ketidakberdayaan seperti ini disebut pandangan yang mempersalahkan si korban (blame the victim).

Þ     Sudut pandang reformis kelembagaan beranggapan bahwa ketidakberdayaan disebabkan oleh berbagai sistem kelembagaan yang ada di masyarakat yang seharusnya melayani masyarakat itu sendiri, misalnya :  sistem pendidikan yang diskriminatif, sistem peradilan yang korup, sistem ekonomi yang menjauhi keberpihakan kepada orang miskin dan sebagainya.  Seharusnya setiap kelembagaan di masyarakat harus dibangun untuk melayani masyarakat itu sendiri.  Karena berbagai kelembagaan itu gagal, maka sudut pandang terhadap ketidakberdayaan ini disebut juga sudut pandang yang mempersalahkan si penolong (blame the rescuer).

Þ     Sudut pandang struktural beranggapan bahwa ketidak-berdayaan disebabkan oleh adanya struktur sosial yang tidak adil dan menekan, misalnya :  sistem kapitalistik, patriarchat, kasta, perbudakan, rasialisme dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.  Karena itu, sudut pandang terhadap ketidakberdayaan yang demikian disebut sebagai sudut pandang yang mempersalahkan sistem (blame the system).

Þ     Sudut pandang pasca-struktural beranggapan bahwa ketidakberdayaan disebabkan oleh wacana (discourse) yang berhubungan dengan bidang/masalah tertentu, contohnya :  penggunaan bahasa tertentu dalam suatu bidang, cara memberi makna (interpretasi) terhadap sesuatu, pembentukan dan cara-cara penggunaannya dalam mengendalikan dan mendominasi proses penentu-an kesesuaian terhadap suatu standard tertentu – perilaku yang dapat diterima dan sebagainya.  Karena itu sudut pandang terhadap ketidakberdayaan yang demikian disebut sebagai sudut pandang yang mempersalahkan wacana (blame the discourse).

Sekalipun ketidakberdayaan secara faktual dapat dipandang disebabkan oleh keempat faktor-faktor yang disebut di atas, umumnya upaya pengembangan komunitas hanya dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dari sudut pandang reformis kelembagaan dan sudut pandang struktural.  Dengan kata lain, upaya-upaya pengembangan komunitas kebanyak-an dilakukan dengan pendekatan blame the rescuer dan blame the sistem.  Karena itu, banyak upaya pengembangan komunitas yang dilakukan dalam bentuk peluncuran program-program yang lebih baik, penyediaan pelayanan dan fasilitas umum di skala komunitas, dan berbagai bentuk upaya perubahan struktural menuju sistem/tatanan sosial yang lebih adil.

b.      Kebutuhan (needs)
Ada dua alasan mengapa kebutuhan (needs) sangat men-dasar dalam keadilan sosial dan pengembangan komunitas.  Yang pertama, setiap orang atau setiap komunitas memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi.  Yang kedua, mereka harus dimungkinkan untuk mendefinisikan dan mengungkapkan kebutuhannya itu – bukan didefinisikan dan ditentukan oleh pihak lain.
Fakta menunjukkan bahwa kekeliruan terbesar yang umum terjadi dan selalu berulang dalam pelaksanaan pembangunan yang sebenarnya ditujukan untuk kemaslahatan komunitas adalah bermula pada tahap pendugaan kebutuhan (needs assessment).  Para ‘ahli pembangunan’ beranggapan bahwa kebutuhan haruslah obyektif, nyata dan terukur.  Akibatnya penentuan kebutuhan haruslah dilakukan metodologi teknis ilmiah yang tentu saja memerlukan keahlian teknis ilmiah tertentu.  Itulah sebabnya mengapa proses penentuan kebutuhan akan layanan pembangunan dipindahkan dari komunitas yang sungguh-sungguh merasakan kebutuhan itu ke tangan ‘para ahli penentu kebutuhan’ yang ‘profesional’.

Proses dan berbagai metodologi penentuan kebutuhan seperti disebut di atas tidak saja telah banyak menghasilkan berbagai proyek yang pada akhirnya benar-benar tidak dibutuhkan, tetapi juga mengakibatkan penidakmampuan (disabbling), pelemahan (disempowerment), pembodohan dan penyangkalan atas hak-hak seseorang atau suatu komunitas untuk menentukan dan menyatakan sendiri kebutuhannya.

Namun demikian, patut juga dicamkan bahwa kebutuhan harus dibedakan atas dua tipe, yaitu :

§    Kebutuhan yang sesungguhnya, yaitu kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh seseorang atau suatu komunitas untuk mencapai potensi utuh kemanusiaan dan yang akan dinyatakan dan diungkapkan jika terbuka peluang untuk melakukannya.

§    Kebutuhan semu, yaitu kebutuhan yang didorong oleh faktor-faktor lain seperti ideologi yang dominan, media massa, rayuan iklan (promosi), sistem pendidikan dan sebagainya.  Kebutuhan semu sangat mungkin merupakan kebutuhan yang dijejal-jejalkan oleh para perencana dan pengelola pembangunan, konsultan, para ahli, profesional dan bahkan mungkin oleh para pekerja pengembangan komunitas.

Sesungguhnya peran para profesional, perencana dan pengelola pembangunan, konsultan dan sejenisnya adalah membantu komunitas dalam merumuskan dan menyatakan kebutuhan komunitas itu sendiri.  Hal ini mungkin dilakukan dengan memindahkan metoda, keahlian yang dibutuhkan untuk itu kepada komunitas dan memfasilitasi proses pe-laksanaannya, tetapi jangan pernah memainkan peran dengan asumsi bahwa merekalah yang bertanggungjawab untuk menentukan kebutuhan orang atau suatu komunitas.

c.      Hak (rights)
Keadilan sosial menuntut adanya keadilan dan kesetaraan untuk memenuhi kebtuhan sosial.  Pemahaman atas hak adalah basis utama untuk memahami keadilan sosial.  Namun, perlu dicamkan bahwa tidak pernah ada hak yang benar-benar bebas tak terikat dengan kewajiban, tugas, tuntutan, tanggungjawab, dan keharusan yang berkenaan dengan hak tersebut.  Yang paling mendasar adalah keharusan untuk tidak menghalangi orang/pihak lain memperoleh haknya.  Itulah sebabnya pada hak setiap orang untuk bebas berbicara, mengemukakan pikiran dan pendapat melekat kewajiban untuk tidak menghalangi orang lain berbicara, mengemukakan pikiran dan pendapat.  Pada setiap hak untuk memilih (memberi suara) melekat kewajiban dan keharusan memahami segala konsekuensi atas pilihan itu.  Dengan kata lain, para pemilih haruslah cukup memahami politik sebelum memberikan suara.  Pada hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan yang baik melekat kewajiban untuk menggunakan hasil pendidikan itu bagi kemaslahatan orang lain.  Karena itu, tugas penting para pekerja pengembangan komunitas adalah membantu komunitas mengetahui hak-hak dan segala kewajiban, keharusan, tanggungjawab, tuntutan dan tugas yang melekat pada setiap hak yang mereka miliki itu.

d.      Kedamaian dan anti-kekerasan (peace and non-violence)
Kedamaian dapat dipahami secara sederhana sebagai suatu keadaan di mana tidak ada perasaan tertekan, terpaksa dan konflik.  Di sini tidak hanya kekerasan fisik dan kekerasan emosional yang dilakukan oleh oleh individu, tetapi termasuk juga ‘kekerasan yang melembaga’ seperti diskriminasi berbasis kebangsaan, ras/etnis, jender, dan agama.
Hambatan terbesar dalam mewujudkan kedamaian dan anti-kekerasan adalah pola-pola persaingan yang telah melembaga di masyarakat moderen (khususnya di perkotaan). Dan karena itu pekerjaan pengembangan komunitas sangat memerlukan keterampilan mengelola konflik, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut pada materi lainnya tentang itu.



e.      Demokrasi partisipatif (participatory democracy)
Demokrasi berasal dari kata Bahasa Yunani, yaitu :  demos dan kratein yang masing-masing berarti rakyat dan kedaulatan, sehingga demokrasi diartikan secara sederhana sebagai kedaulatan atau kekuasaan di tangan rakyat.  Demokrasi berkaitan dengan proses politik, yaitu proses dalam pengambilan keputusan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan hajad hidup orang banyak (kepentingan bersama).  Ada dua tipe demokrasi, yaitu :  demokrasi perwakilan (representational democracy) dan demokrasi partisipatif (paticipatory democracy). 

Demokrasi perwakilan
Dalam prakteknya, sekalipun dalam masyarakat yang paling kecil sekalipun, sulit melibatkan semua orang untuk ikutserta dalam proses pengambilan keputusan untuk semua hal.  Karena itu, suatu cara ditentukan untuk mewakilkan proses pengambilan keputusan itu kepada para wakil yang dipilih oleh masyarakat.

Persoalannya adalah bahwa para wakil (representative) lebih suka memperlakukan mandat (amanah) yang diterimanya dari para pemilihnya sebagai suatu kewenangan (kekuasaan) yang tidak perlu dipertanggung-jawabkan kembali kepada para pemilih sebagai pemberi mandat.  Dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah terpilih, para wakil ini segera berubah menjadi elitis, semakin jauh dari masyarakat pemilih yang diwakilinya, dan keputusan-keputusan mereka bahkan acap kali tidak mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat pemilihnya.  Fakta menunjukkan bahwa dari skala global, nasional, sampai skala komunitas demokrasi perwakilan telah menjadi jalan bagi proses pemindahan kekuatan/daya (power) dari masyarakat banyak (rakyat) secara efektif dan pasti;  sehingga para elite menjadi pemilik kekuatan/daya (power) dan rakyat menjadi tidak berdaya.  Dengan kata lain, demokrasi perwakilan selalu menjadi jalan baik menuju pelemahan (disempowerment) rakyat/ komunitas dan sekaligus menjadi jalan menuju proses penguatan (empowerment) bagi segelintir orang (para elite).

Struktur komunitas yang elitis dan sentralistik adalah salah satu bidang garapan utama pemberdayaan komunitas.  Tak ada pilihan selain menggusur demokrasi perwakilan dan menggantikannya dengan demokrasi partisipatif.


Demokrasi partisipatif
Di dalam demokrasi partisipatif, masyarakat terlibat langsung di dalam proses pengambilan keputusan.  Karena itu dapat dipahami bahwa demokrasi partisipatif memerlukan adanya desentralisasi, akuntabilitas, pendidikan dan kesadaran akan segala hak dan kewajiban.

Desentralisasi berarti bahwa fungsi-fungsi terpusat hanya diarahkan pada aspek-aspek koordinasi, penyediaan informasi dan sumberdaya serta segala pendukung bagi pelaksanaan desentralisasi itu sendiri.

Akuntabilitas dalam pandangan kuno selalu dipahami sebagai arus pertanggungjawaban yang bergerak dari bawah ke atas atau ke pusat.  Struktur birokrasi yang berada di bagian paling bawah hierarki harus bertanggungjawab kepada struktur yang berada di atas dan seterusnya.  Pelaksanaan demokrasi partisipatif justeru memerlukan akuntabilitas yang bergerak dari atas ke bawah dan ke samping.  Dalam hal ini, maka para elite harus bertanggungjawab kepada masyarakat pemilihnya dan kepada sesamanya.

Pendidikan mutlak dilakukan menuju demokrasi partisipatif. Jika masyarakat harus berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, mereka harus memahami betul apa yang hendak diputuskan dan konsekuensi apa yang mungkin timbul dari masing-masing alternatif keputusan yang tersedia.  Ini memerlukan pendidikan dalam arti yang luas.  Tanpa pendidikan, demokrasi partisipatif tidak mungkin berlangsung.  Itulah sebabnya mengapa salah satu peran penting yang harus dimainkan oleh para pekerja pengembangan komunitas adalah kelompok peran kependidikan.  Kelompok peran-peran penting yang umumnya dimainkan oleh para pekerja pengembangan komunitas yang terbaik akan diuraikan lebih lanjut pada materi lainnya

Kewajiban sebagaimana telah dibahas pada sub bab tentang hak (rights), selalu melekat pada setiap hak yang dimiliki oleh setiap orang atau sekelompok orang.  Karenanya, dalam setiap hak yang dimiliki olah para anggota komunitas untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan melekat kewajiban para anggota komunitas itu untuk memahami dengan baik segala sesuatu yang berkenaan dengan keputusan dan segala konsekuensinya.





[     ]