A. Berbagai
Kelemahan Proses Awal Proyek
Umumnya proses
awal proyek didominasi oleh ahli-ahli teknik dan ekonomi yang lebih
menekankan pada infrastruktur, anggaran, jadwal dan kuantifikasi. Cara-cara berfikir para
profesional, badan-badan (organisasi) pembangunan dan pelaksanaannya mengandung
‘bias anti si miskin’ (melenceng dan cenderung
menjauhi dan tidak memihak si miskin).
Sebaliknya, profesionalisme dan paradigma baru pembangunan dimulai dari ‘manusia’ dan bukan dari ‘sesuatu’ atau kebendaan, serta lebih menggunakan proses-proses yang adaptif
daripada cetak biru (blue print). Implikasi praktis dari
pendekatan ini memerlukan staf lapangan yang berkualitas dan bertekad
kuat; perubahan pola pendanaan,
penggunaan metodologi penilaian awal secara partisipatif dan perlunya dukungan
untuk melakukan suatu ‘proyek belajar’ yang tidak terlalu ketat mematok tenggat waktu (deadline) dan target-target kuantitatif secara kaku.
Dalam bahasan ini yang dimaksud dengan ‘proses awal proyek’
mengacu pada terminologi Bank Dunia terhadap identifikasi, persiapan,
analisis dan penilaian kelayakan proyek. Pengertian ini setara dengan kegiatan-kegiatan
serupa yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, donor dan organisasi
non-pemerintah. Secara umum,
proses-proses awal proyek tersebut menunjukkan berbagai kelemahan yang telah
lama diketahui dan dicatat tetapi masih terus saja terjadi. Kelemahan-kelemahan tersebut di antaranya disebut oleh Cassen and Associate sebagai berikut :
1.
Penaksiran terlalu
tinggi (over estimate) terhadap kapasitas administrasi dan manajemen penerima
proyek,
2.
Penaksiran yang keliru (tidak tepat) atas dampak proyek terhadap
penerima manfaat proyek (beneficiaries),
3.
Diabaikannya
biaya-biaya operasional dan pemeliharaan hasil-hasil proyek pada saat penyusunan
rencana,
4.
Kurangnya pemahaman
pada aspek manusia dan kemanusiaan, sosial dan lingkungan fisik yang mungkin
terpengaruh oleh proyek,
5.
Kurangnya perhatian
pada keterkaitan dengan proyek atau program lain, baik yang sudah ada maupun
yang sedang direncanakan.
Hal-hal tersebut di atas sangat penting di samping satu aspek lagi yang
tak kalah penting, yaitu : kurangnya
partisipasi pada setiap tahapan proses perencanaan dan pelaksanaan proyek dari
pihak-pihak yang diidentifikasi sebagai pihak-pihak penerima manfaat proyek (beneficiaries).
Terdapat berbagai faktor dan kelemahan lain yang sebagian dapat
menjelaskan mengapa berbagai kesalahan tersebut di atas selalu saja
terulang. Faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan apa yang disebut sebagai ‘profesionalisme normal’ dan tekanan-tekanan
politik dan birokrasi.
B Profesionalisme
Normal
Profesionalisme normal, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah berkaitan dengan :
§ pola berpikir para
profesional secara umum,
§ tata nilai yang dianut
oleh para profesional dalam menentukan metoda dan perilaku yang dominan dalam
menjalankan profesinya itu,
§ disiplin ilmu tertentu
yang dianggap sebagai profesional, dan
§ pembagian tugas dan
tata kerja (departemen, bagian, seksi) yang cenderung didasarkan pada apa yang
dianggap secara umum sebagai profesi tertentu.
Aspek-aspek di atas menunjuk secara khusus pada
teknik rekayasa dan ekonomi sebagai profesi dan disiplin ilmu yang paling
berpengaruhi dalam penetapan batasan dan proses awal proyek. Profesionalisme normal mengandung bias
mendarah-daging. Hal ini tercermin pada
karakteristik ‘berkembang terpusat’
atau ‘yang didahulukan’ dibandingkan dengan sifat sebaliknya,
yaitu ‘berkembang di sekitarnya/perifer’ dan ‘mengutamakan
hasil akhir’. Untuk menunjukkan
perbedaan kedua pola ini akan nampak jelas dengan menyimak contoh pada tabel
berikut.
TUMBUH
DI PUSAT
(SENTRAL)
|
TUMBUH
KE SEKELILING
(PERIFERAL)
|
Skala pembangunan cenderung besar
|
Skala pembangunan cenderung kecil
|
Lebih padat modal
|
Lebih padat karya
|
Bersifat anorganik
|
Bersifat organik
|
Berorientasi pada permintaan pasar
|
Beorientasi pada subsistensi
|
Cenderung mekanisasi
|
Menggunakan tenaga
manusia atau tenaga hewan (teknologi tepat)
|
Tumbuh terpusat di suatu inti/relatif terpusat
|
Tumbuh meluas ke sekeliling (periferal)
|
Cenderung menyukai teknologi tinggi
|
Lebih memilih teknologi sederhana
|
Aspek-aspek yang berada di kolom kiri tabel di atas, umumnya merupakan
ciri-ciri dominan profesionalisme normal;
sedangkan aspek-aspek yang berada di kolom kanan merupakan ciri umum yang
lebih mengarah pada sumberdaya yang tersedia dan kebutuhan masyarakat yang
relatif miskin umumnya di perdesaan.
Terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi, menimbulkan dan mendorong
terjadinya bias profesionalisme normal terhadap orang miskin. Beberapa di antaranya sangat jelas sebagai
akibat dari status relatif yang ada di antara sesama profesional
maupun antar disiplin ilmu. Status dan
penghargaan yang lebih tinggi terkait dengan kewenangan (kekuasaan) dan nilai
material yang diberikan nampaknya berhubungan dengan ciri sebagai berikut :
§
lebih terkait ke sesuatu yang
bersifat kebendaan daripada ke sesuatu yang berkaitan dengan kemanusiaan (atau
sering sekali manusia diperhitungan sebagai benda),
§ mengutamakan laki-laki
dan mengesampingkan perempuan,
§
dengan penilaian yang lebih
kuantitatif daripada kualitatif,
§ lebih spesialisasi
daripada kompetensi umum,
§ ketepatan perhitungan
atas kebendaan (sesuatu) lebih diutamakan daripada partisipasi.
Hampir semua profesional normal memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut
:
§
lebih menghargai data,
pengukuran, perhitungan (kalkulasi),
§ pelaksanaan pekerjaan
secara taat asas pada ketentuan-ketentuan analisis yang sudah dibakukan
(cenderung ‘kaca-mata kuda’),
§
merencanakan cetak biru untuk
pengendalian dan kepastian,
§ lebih tertarik ke
perkotaan daripada ke perdesaan, dan
§ lebih meminati industri
daripada pertanian.
Keterkaitan yang tinggi (erat), kecenderungan ini
berarti rekayasa teknik lebih bergengsi dan berbobot daripada agronomi; ekonomi lebih bergengsi dan berbobot daripada
sosiologi, antropologi sosial dan berbagai pengetahuan humaniora lainnya.
C. Profesi Dan Hubungannya Dengan Proses Awal
Proyek
Tingginya status profesionalisme normal disebabkan
karena profesi dan disiplin ilmu rekayasa teknik dan ekonomi yang sangat
dominan pada proses awal evolusi kelembagaan dan proyek-proyek. Terkait dengan itu, contoh paling nyata
adalah apa yang terjadi pada Bank Dunia.
Semula organisasi ini bernama International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang mencerminkan misinya
yang mengutamakan dan mendahulukan pembangunan fisik (konstruksi). Hal itu ditunjukkan pada penempatan kata ‘reconstruction’
(bangunan fisik) lebih dahulu daripada kata ‘development’ (pembangunan). Karena niatnya sudah sejak awal demikian maka
perhatian terbesar bank ini pada mulanya sangat mengutamakan pada pembangunan
infrastruktur dan industri. Karena itu
pula maka Bank Dunia pada awalnya sangat didominasi oleh tenaga-tenaga ahli
teknik dan ekonomi sebagaimana badan-badan pemberi bantuan lainnya.
Sebagian besar proyek, betapapun kecilnya, bahkan
sekalipun proyek itu adalah proyek pertanian;
selalu dimulai dari pengadaan perangkat keras dan kegiatan konstruksi
(jalan, rumah, gudang, dam dan sebagainya);
yang tentu saja memerlukan survai, perencanaan, cetak biru (blue
print), pengadaan, pembelian, penjadwalan dan konstruksi. Semua itu berada di wilayah kekuasaan profesi
ahli teknik. Selain itu, proses awal
proyek selalu diikuti oleh perkiraan finansial, penilaian ekonomis dan
keabsahan statistik; yang seluruhnya ada
di wilayah para ahli ekonomi.
Aspek-aspek dan profesi yang berkaitan dengan manusia humaniora
cenderung dilibatkan belakangan.
Pelibatan para profesional di bidang ilmu-ilmu
sosial selalu saja dilakukan setelah para ahli teknik dan ekonomi memutuskan
segala sesuatu. Ahli-ahli sosial dan
antropologi sosial dilibatkan ‘setengah hati’ dan dalam hubungan yang
tidak serasi dengan pihak-pihak lainnya.
Profesi di bidang sosial dan humaniora cenderung dianggap sebagai
pengganggu. Kontribusinya sering dinilai
negatif karena para profesional di bidang itu cenderung lebih mem-pertanyakan
mengapa sesuatu tidak dilakukan atau harus dilakukan lebih pelan-pelan atau
berhati-hati.
Para profesional di bidang sosial dan homaniora
cenderung mengajukan keberatan-keberatan dan akibatnya cenderung dinilai
menghambat proses pelaksanaan proyek.
Inilah yang menyebabkan mengapa para profesional yang merasa berstatus
lebih tinggi, selalu beranggapan bahwa para profesional bidang sosial dan
humaniora sebaiknya berdiam diri dahulu sampai waktunya tiba bagi mereka untuk
mengambil peran.
D. Tekanan
birokrasi dan politik
Dinamika birokrasi dan politik juga cenderung
memperbesar bias pada proses awal dan pelaksanaan berbagai
proyek. Aparat organisasi/badan-badan
donor dan organisasi-organisasi penerima bantuan sama-sama dihadapkan pada
tekanan yang secara luas dan sudah umum diketahui, yaitu :
1. Sesegera
mungkin menyelesaikan persyaratan administraitf proyek (portofolio proyek),
2. Menghabiskan
anggaran (terutama dana bantuan) sesuai dengan tenggat waktu (deadline),
3. Keharusan
menggunakan barang modal dari negara pemberi bantuan sebagai bagian dari
proyek,
4. Mengurangi jumlah staff (jika pemerintah
donor melakukan pengetatan dana bantuan atau jika negara penerima melakukan
penyesuaian birokrasi).
Bagi negara donor
hal tersebut agak disukai, semakin besar proyek terpusat, lebih membuka peluang
melibatkan lebih sedikit staf untuk menghabiskan lebih besar dana lebih cepat
dan membelanjakan lebih banyak di negara donor itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa para profesional normal
semakin dikerahkan dan semakin dihargai.
Peran para insinyur dan ahli ekonomi semakin menonjol, sementara peran
para ahli sosial dan kemasyarakatan semakin terpinggir.
E. Patologi
(Penyakit) Proyek
Teori identifikasi dan proses awal (persiapan)
proyek sangat bergantung pada sistematika dan prosedur yang kaku. Sejumlah upaya memang telah dilakukan untuk
memperbaiki, terutama unsur matematisnya.
Meskipun begitu, kenyataannya berbagai cacat utama masih terus
terjadi. Baik secara terpisah maupun
kombinasi, berbagai cacat itu terus menghambat perjalanan manfaat proyek
terutama yang menuju ke kelompok miskin.
Empat kelompok utama
cacat itu di antaranya :
Ø komitmen tak dapat balik (irreversibility of commitment),
Ø metodology yang mengandung ‘bias anti si miskin’ (anti-poor bias in methodology),
Ø terlalu mengagungkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis),
dan
Ø prosedur additif (prosedur tambahan).
1. Komitmen tak dapat balik (irreversibility of commitment)
Komitmen
untuk melaksanakan proyek-proyek berskala menengah dan besar yang didanai oleh
badan-badan bantuan atau negara donor, sering kali sudah tidak dapat diubah
sekalipun komitmen itu baru pada tahap yang sangat dini. Apapun teorinya, kenyataan menunjukkan bahwa
keputusan tentang suatu proyek relatif sudah tidak dapat diubah karena adanya
anggapan bahwa mengubah komitmen politik kerjasama atau bantuan sebagai sesuatu
yang memalukan. Keputusan atas bantuan
dan kerjasama, dapat saja sudah diambil jauh-jauh hari sebelum persiapan, studi
dan analisis kelayakan dilakukan. Bahkan
sangat menarik mengamati gejala bahwa semakin besar nilai proyek yang
disepakati, semakin dini komitmen tak dapat balik dapat terjadi.
Komitmen dalam hal ini sama sekali bukanlah
persetujuan formal atau penandatanganan dokumen kerjasama, tetapi relatif baru
berupa persetujuan lisan antara pejabat tinggi, yang secara politis sangat
sulit diurungkan. Komitmen tak dapat
balik seperti itu acap kali berlawanan dengan laporan hasil studi kelayakan
yang dilakukan kemudian. Bahkan para
konsultan pelaksana studi kelayakan cenderung bertendensi ‘melayak-layakkan’ usulan proyek, meskipun studi yang mereka lakukan
sendiri menunjukkan hal yang sebaliknya.
Selain
itu, proyek-proyek yang berkinerja buruk sangat jarang memberi manfaat bagi
orang miskin. Karena itulah mengapa ‘proyek-proyek
besar yang dilayak-layakkan’ hampir selalu justeru menambah sengsara
kelompok miskin.
2. Metodologi yang bias ‘anti si miskin’
Dari semua bias
yang ada pada profesionalisme normal, yang paling sedikit memperoleh
sorotan dan pengamatan adalah tentang metodologi yang digunakan. Pada proses identifikasi proyek, momentum
paling penting biasanya berada pada tahap paling awal, tetapi secara
metodologis justeru tahap inilah yang paling tidak lengkap, kurang diamati dan
sangat sedikit disoroti. Identifikasi
suatu proyek sering lebih banyak berfungsi sebagai ‘kotak hitam’, sebagai
analisis pembenar atau pemaaf jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Hasil analisis ‘kotak hitam’
inipun cenderung lebih mudah dilakukan dan sering dipengaruhi oleh berbagai
pihak yang mempunyai berbagai kepentingan tertentu. Lebih tegasnya, jika sesuatu yang tidak
diinginkan terjadi pada suatu proyek;
maka analisis ‘kotak hitam’ cenderung untuk lebih sekedar
mencari-cari ‘kambing hitam’.
3. Analisis biaya-manfaat ‘di negara
donor’
Sesungguhnya
secara teoritis, berbagai bias pada proses awal proyek masih dapat
ditanggulangi dengan analisis biaya/manfaat (Cost/Benefit Analysis). Dan memang dalam memilih berbagai alternatif
komponen proyek, analisis biaya/manfaat sangat berguna. Analisis kepekaan sangat ber-manfaat dan
membantu dalam proses pengambilan keputusan.
Analisis ekonomis dapat digunakan secara efektif untuk meminimasi berbagai kerugian yang mungkin
ditimbulkan oleh suatu proyek. Berbagai
analisis itu juga dapat sangat berguna untuk mencegah diputuskannya pelaksanaan
proyek yang buruk, jika semuanya dapat dideteksi secara dini. Tetapi, analisis biaya/manfaat inipun
mempunyai banyak kelemahan. Sebagian
dari kelemahan itu disebabkan karena adanya kecenderungan ‘godaan’
menggunakan variable tunggal dalam analisis.
Sebagian lagi disebabkan oleh kekeliruan dalam menetapkan ‘nilai yang
akan datang’ (future value) terhadap berbagai variable yang
seharusnya perlu diperhitungan, baik itu pada Benefit-Cost Ratio (B/C
Ratio) maupun pada Internal Rate of Return (IRR).
Kesulitan dan
kecenderungan kekeliruan akan terjadi terutama jika yang menjadi variable
penting dari suatu proyek adalah misalnya nilai hidup dan kehidupan manusia di
masa yang akan datang. Apakah masyarakat
di dalam dan di sekitar proyek akan menjadi lebih miskin..? Apakah setelah proyek beroperasi, kesehatan
manusia semakin baik atau sebaliknya .?
Kesulitan menghitung faktor yang dalam ilmu ekonomi disebut ‘dummy
variables’ (variabel goblok) itu, cenderung menggoda para analis
untuk mengambil jalan pintas dengan memberinya ‘nilai akan datang’
(future value) terlalu kecil atau bahkan tidak memperhitungkannya.
4. Prosedur
additif (tambahan) sekedar ‘bumbu/kosmetik’
Menanggapi
berbagai kekurangan, telah dilakukan penataan ulang dan penambahan berbagai
proses penting ke dalam prosedur proses awal proyek. Upaya ini mulanya
diprakarsai oleh USAID. Analisis
aspek sosial mulai dipersyaratkan USAID untuk mengidentifikasi kelompok
mana di dalam suatu masyarakat yang perlu lebih diperhatikan pada saat
perancangan proyek, baik sebagai penerima manfaat proyek maupun sebagai
penerima dampak proyek yang direncanakan.
Tetapi kesadaran tambahan tersebut menuntut kerja keras staf pelaksana
proyek di badan-badan donor itu sendiri danperlunya pengembangan metoda baru
dalam proses penyiapan proyek.
Meskipun
perhatian tambahan tersebut sudah diteliti dengan baik, di-laporkan secara
tepat; sering sekali akhirnya hanya
menjadi tambahan tumpukan arsip di lemari para pengambil keputusan. Akhirnya prosedur tambahan tersebut hanyalah
jalan pintas untuk meramu ‘kosmetik baru’ bagi suatu proses
persiapan proyek.
F. Hasil-hasil
Yang Diperoleh (Akibat) Dari Perencanaan Tidak Partisipatif
Secara umum hasil-hasil yang diperoleh dari pola perencanaan dan
pe-laksanaan pembangunan sebagaimana dijelaskan di muka sudah banyak
dilaporkan. Begitu banyak kelemahan yang
telah teridentifikasi, tetapi dalam konteks ini akan disebutkan beberapa
sebagai berikut :
§ Kurangnya rasa kepemilikan masyarakat secara umum dan komunitas secara
khusus atas hasil-hasil proyek,
§ Kurangnya kemauan dan tingkat pemeliharaan atas hasil-hasil proyek,
§ Meningkatnya ketergantungan masyarakat secara umum dan komunitas secara
khusus atas pelayanan pembangunan dari pemerintah, dan bahkan secara nasional
meningkatnya ketergantungan negara-negara yang sedang membangun kepada
sumberdaya dari luar negeri.
G. Proyek
Besar : Mencegah Lebih Baik Daripada
Mengobati
Keempat kelemahan proses awal proyek yang telah
disebutkan, yaitu : komitmen tak
dapat balik, pendewaan analisis biaya-manfaat (cost-benefit
analysis), ‘bias anti si miskin’ dan prosedur
additif akan muncul dalam intensitas berbeda, tergantung pada
pertanyaan strategis, seberapa besar skala proyek. Kebanyakan proyek besar hanya diputuskan
karena gengsi, patronisme, ambisi pribadi pejabat tinggi tertentu, motivasi
korupsi dan kebutuhan untuk menghabiskan anggaran. Mengamati berbagai proyek besar, memang harus
diakui bahwa tidaklah semuanya selalu buruk tetapi umumnya proyek-proyek besar
selalu lebih jelek daripada yang seharusnya.
Belakangan ini ada kebutuhan untuk mempertanyakan
proyek-proyek besar dan berusaha mencari alternatif memperbaikinya. Pertanyaan kritis khususnya yang berkaitan
dengan pembangunan dam dan jalan tol, menyangkut hak-hak dan kesejahteraan
masyarakat yang selalu saja tergusur oleh adanya proyek-proyek itu. Pertanyaan terbesar adalah bagaimanakah
badan-badan donor, pemerintah di negara penerima bantuan, para staf proyek dan
politikus dapat belajar mencegah pelaksanaan suatu proyek besar yang berkinerja
buruk..?. Empat hal sementara ini dapat
disarankan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu :
1. Mengidentifikasi jumlah
masyarakat yang cenderung akan merugi akibat adanya proyek dan memberi bobot
yang tinggi pada aspek kesejahteraan mereka dalam proses awal proyek,
2. Mencari jalan memecah satu
proyek besar menjadi beberapa bagian lebih kecil tanpa kehilangan
integrasinya. Misalnya, lebih baik
beberapa bendung gerak di satu sungai daripada satu bendungan besar pada sungai
yang sama,
3. Menghindari komitmen yang
terlalu dini dengan tetap tampil bersahaja (low profile), lebih
memperhatikan risiko politis dan biaya, menghindari pertemuan negosiasi antara
para pejabat tingkat tinggi yang terlalu dini,
4. Memilih konsultan yang
obyektif, yang mampu memberikan rekomendasi yang sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
H. Paradigma Baru dan Profesionalisme Baru
Dalam Pelaksanaan (Khusunya Dalam Perancangan) Pembangunan
Pencegahan proyek-proyek besar yang berkinerja dan
berdampak buruk dapat dilakukan dengan mempromosikan proyek-proyek kecil yang
berkinerja dan berdampak baik.
Badan-badan donor belakangan ini lebih mendukung proyek-proyek kecil
yang diidentifikasi dan dilaksanakan oleh LSM.
Perhatian sudah semakin
diarahkan kepada manusia, kelompok anak-anak dan kelompok perempuan atau
kelompok miskin.
Para profesional di bidang sosial dan antropologi
sudah semakin banyak dilibatkan dalam berbagai proyek. Hal ini menandakan adanya kebutuhan baru
yaitu paradigma baru dan profesionalisme baru dalam pelaksanaan pembangunan. Beberapa aspek kunci pada paradigma baru ini
adalah :
1. Lebih
menaruh perhatian pada manusia daripada kebendaan,
2. Desentralisasi,
3. Memampukan
dan menguatkan kelompok yang lebih miskin dan yang lebih lemah,
4. Memberi
nilai lebih tinggi dan lebih banyak bekerja pada apa yang sedang dihadapi
kelompok miskin dan lemah,
5. Belajar
dari kelompok penerima manfaat proyek daripada mengajari mereka,
6. Mengutamakan
proses belajar penerima manfaat proyek daripada menjejalkan (memaksakan)
cetak-biru proyek.
Paradigma baru ini memang mangandung hal-hal yang
cenderung digunakan oleh para perencana sebagai upaya untuk menghindar dari
tanggungjawab dengan menempatkan alasan pada kesulitan dalam mengukur
hasil. Suatu proyek kecil tak terpusat
kurang dapat dilihat (kurang nyata) jika dibanding dengan satu proyek
infrastruktur yang besar dan terpusat.
Pembangunan sosial lebih sulit dilihat hasilnya daripada pembangunan
fisik. Perubahan evolusioner lebih sulit
dirasakan daripada perubahan revolusioner.
I. Implikasi Praktis
Untuk melakukan proses belajar pada proyek sebesar
apapun beberapa prasyarat dan implikasi berikut perlu diperhatikan :
1. Keberlanjutan ketersediaan staf lapangan
yang berkemampuan dan bertekad kuat untuk mendampingi masyarakat
Prioritas utama adalah mendorong
ketersediaan staf lapangan yang cakap dan bertekad kuat mendampingi
masyarakat. Sedapat mungkin staf
tersebut bersedia tinggal dan bekerja bersama masyarakat. Mereka harus mampu dan mau belajar dari masyarakat,
memahami proses pelibatan, penguatan dan pengembangan kelembagaan masyarakat.
2. Kekangan
dana/anggaran
Dana yang terlalu besar, atau penyalurannya yang terlalu dini, atau
penggunaannya yang sangat dibatasi waktu cenderung memaksa para staf lapangan
untuk menjejalkan cetak biru proyek kepada masyarakat. Dana yang harus dihabiskan dan dilaporkan penggunaannya
dalam waktu sempit sebelum akhir Tahun Anggaran cenderung dibelanjakan untuk
pembelian barang, misalnya semen; yang
tentu akan lebih menunjuk pada kebendaan daripada proses-proses manusiawi yang
seharusnya ditempuh terlebih dahulu.
Dana besar lebih cenderung mengarah ke penggunaan untuk bangunan fisik
atau mesin tertentu daripada keswakarsaan dan keswadayaan masyarakat. Bahkan kepercayaan yang terlalu besar kepada
LSM tertentu cenderung membuat mereka mendorong partisipasi masyarakat secara ‘karbitan’
dan mencapai hasil proyek secara cepat dan karitatif. Ini menghambat proses belajar pihak-pihak
yang seharusnya berpartisipasi dan berkepentingan atas proyek, karena kelompok
masyarakat miskin cenderung memilih sesuatu yang tidak disukai asalkan mereka
dibayar dan memperoleh makan dari pekerjaan itu. Karenanya anggaran yang terlalu besar sering
menjadi hambatan proses belajar pihak-pihak yang seharusnya berpartisipasi
dalam proyek.
3. Penilaian cepat (rapid rural appraisal/partisipatory appraisal)
Pemantauan, belajar,
mengandaptasi dan penilaian berlanjut terhadap suatu proyek memerlukan waktu
dan metoda pembiayaan yang efektif. Penilaian
Perdesaan Secara Cepat dan Partisipatif (Rapid Rural Appraisal/RRA)
atau (Participatory Rural Appraisal/PRA) sudah semakin banyak
digunakan pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian proyek
terutama di perdesaan. Konferensi
tentang metoda ini yang dilaksanakan pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa metoda
ini bukanlah suatu metoda yang sekedar dapat digolongkan sebagai ‘metoda terbaik kedua’. Tetapi bahkan jika digunakan secara tepat,
metoda ini sering merupakan metoda
paling unggul.
Diterimanya metoda
RRA/PRA sebagai suatu pendekatan lebih luas telah mengundang kritik dari
profesional normal yang ‘kolot’, tetapi dari berbagai pengalaman,
pendekatan ini telah menunjukkan keunggulannya terutama pada proses
indentifikasi proyek, memampukan masyarakat meng-identifikasi masalah,
merancang proyek dengan prioritas yang lebih sesuai dengan kebutuhan; terbukti telah mendorong berbagai proyek
pembangunan lebih efektif dan efisien.
4. Proyek belajar
Ketidakpuasan
terhadap dominasi pendekatan proyek dalam pem-bangunan telah mengundang minat
untuk meneliti pengembangan metoda dan pendekatan alternatif. Satu kelompok kerja di Universitas Cornell,
Ithaca (New York) telah merumuskan kelompok-kelompok proyek alternatif yang
disebut sebagai ‘para project’ di antaranya sebagai berikut :
1. Proyek
mini pengembangan kapasitas lokal,
2. Pengembangan teknologi tepat
bagi suatu kelompok,
3. Perbaikan
metoda perencanaan dan manajemen,
4. Proyek
sistem mikro tabungan-kredit,
5. Pengembangan
difusi horisontal,
6. Reorientasi
birokrasi,
7. Program riset dan aksi.
Tiga ciri umum proyek seperti tersebut di atas adalah, meskipun dana adalah
sumberdaya yang paling sering berasal dari luar, proyek-proyek tersebut lebih
cenderung bersifat :
·
lebih
padat karya daripada padat modal,
·
lebih
mempertimbangkan penggunaan sumberdaya dan kapasitas manajemen lokal, dan
·
relatif mengarah ke perubahan
kualitatif dengan sejumlah besar kegiatan dengan masing-masing sasarannya.
Tidak semua ‘para project’
sebagaimana disebut di atas tidak cocok digabungkan dengan proyek-proyek besar
yang umum, bahkan sebagian besar mampu menunjukkan dan memunculkan proses
pengembangan gagasan penting, penguatan kelembagaan dan mendorong proses
belajar yang setidaknya pada tahap awal proyek sangat tidak mungkin dicetak
biru. Tipe ideal suatu proyek
belajar adalah :
·
dana
tersedia tetapi tidak ditetapkan jumlahnya secara kaku,
·
tidak
menekankan agar para staf proyek segera menggunakan atau menghabiskan sejumlah
besar anggaran dalam tenggat waktu (deadline) yang relatif sempit,
·
tidak
menekankan pada target kaku untuk mencapai satu produk fisik tertentu,
·
tidak
semata-mata menekankan pada salah satu, baik perubahan yang kasat mata maupun
yang tidak.
Hal penting pada proyek
belajar adalah penempatan staf lapangan yang baik dalam periode waktu yang
relatif lebih panjang, bahkan sering perlu beberapa tahun, untuk menggali dan
belajar dari/bersama masyarakat lokal dan mencoba melihat bagaimana cara
terbaik bagi masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan mereka dari proyek yang
sedang direncanakan. Dapat saja
diperlukan beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun sebelum sejumlah dana
tertentu perlu disalurkan dan dibelanjakan jikapun memang pada akhirnya dana
itu benar-benar diperlukan.
* Materi Participatory
Basic Training CSR for Community Development oleh CFCD
[ ]