Mau belajar bisnis online??Klik aja link di bawah ini!!

Minggu, 23 Januari 2011

Perencanaan Partisipatif


A.      Berbagai Kelemahan Proses Awal Proyek

Umumnya proses awal proyek didominasi oleh ahli-ahli teknik dan ekonomi yang lebih menekankan pada infrastruktur, anggaran, jadwal dan kuantifikasi.  Cara-cara berfikir para profesional, badan-badan (organisasi) pembangunan dan pelaksanaannya mengandung ‘bias anti si miskin’ (melenceng dan cenderung menjauhi dan tidak memihak si miskin).


Sebaliknya, profesionalisme dan paradigma baru pembangunan dimulai dari ‘manusia’ dan bukan dari ‘sesuatu’ atau kebendaan, serta lebih menggunakan proses-proses yang adaptif daripada cetak biru (blue print).  Implikasi praktis dari pendekatan ini memerlukan staf lapangan yang berkualitas dan bertekad kuat;  perubahan pola pendanaan, penggunaan metodologi penilaian awal secara partisipatif dan perlunya dukungan untuk melakukan suatu ‘proyek belajar’ yang tidak terlalu ketat mematok tenggat waktu (deadline) dan target-target kuantitatif secara kaku.

Dalam bahasan ini yang dimaksud dengan ‘proses awal proyek’ mengacu pada terminologi Bank Dunia terhadap identifikasi, persiapan, analisis dan penilaian kelayakan proyekPengertian ini setara dengan kegiatan-kegiatan serupa yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, donor dan organisasi non-pemerintah.  Secara umum, proses-proses awal proyek tersebut menunjukkan berbagai kelemahan yang telah lama diketahui dan dicatat tetapi masih terus saja terjadi.  Kelemahan-kelemahan tersebut di antaranya disebut oleh Cassen and Associate sebagai berikut :

1.        Penaksiran terlalu tinggi (over estimate) terhadap kapasitas administrasi dan manajemen penerima proyek,
2.        Penaksiran yang keliru (tidak tepat) atas dampak proyek terhadap penerima manfaat proyek (beneficiaries),
3.        Diabaikannya biaya-biaya operasional dan pemeliharaan hasil-hasil proyek pada saat penyusunan rencana,
4.        Kurangnya pemahaman pada aspek manusia dan kemanusiaan, sosial dan lingkungan fisik yang mungkin terpengaruh oleh proyek,
5.        Kurangnya perhatian pada keterkaitan dengan proyek atau program lain, baik yang sudah ada maupun yang sedang direncanakan.

Hal-hal tersebut di atas sangat penting di samping satu aspek lagi yang tak kalah penting, yaitu :  kurangnya partisipasi pada setiap tahapan proses perencanaan dan pelaksanaan proyek dari pihak-pihak yang diidentifikasi sebagai pihak-pihak penerima manfaat proyek (beneficiaries).

Terdapat berbagai faktor dan kelemahan lain yang sebagian dapat menjelaskan mengapa berbagai kesalahan tersebut di atas selalu saja terulang.  Faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan apa yang disebut sebagai ‘profesionalisme normal’ dan tekanan-tekanan politik dan birokrasi.



B      Profesionalisme Normal

Profesionalisme normal, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah berkaitan dengan :

§    pola berpikir para profesional secara umum,
§    tata nilai yang dianut oleh para profesional dalam menentukan metoda dan perilaku yang dominan dalam menjalankan profesinya itu,
§    disiplin ilmu tertentu yang dianggap sebagai profesional, dan
§    pembagian tugas dan tata kerja (departemen, bagian, seksi) yang cenderung didasarkan pada apa yang dianggap secara umum sebagai profesi tertentu.

Aspek-aspek di atas menunjuk secara khusus pada teknik rekayasa dan ekonomi sebagai profesi dan disiplin ilmu yang paling berpengaruhi dalam penetapan batasan dan proses awal proyek.  Profesionalisme normal mengandung bias mendarah-daging.  Hal ini tercermin pada karakteristik  ‘berkembang terpusat’ atau ‘yang didahulukan’ dibandingkan dengan sifat sebaliknya, yaitu ‘berkembang di sekitarnya/perifer’ dan ‘mengutamakan hasil akhir’.  Untuk menunjukkan perbedaan kedua pola ini akan nampak jelas dengan menyimak contoh pada tabel berikut.

TUMBUH DI PUSAT
(SENTRAL)
TUMBUH KE SEKELILING
(PERIFERAL)
Skala pembangunan cenderung besar
Skala pembangunan cenderung kecil
Lebih padat modal
Lebih padat karya
Bersifat anorganik
Bersifat organik
Berorientasi pada permintaan pasar
Beorientasi pada subsistensi
Cenderung mekanisasi
Menggunakan tenaga manusia atau tenaga hewan (teknologi tepat)
Tumbuh terpusat di suatu inti/relatif terpusat
Tumbuh meluas ke sekeliling (periferal)
Cenderung menyukai teknologi tinggi
Lebih memilih teknologi sederhana


Aspek-aspek yang berada di kolom kiri tabel di atas, umumnya merupakan ciri-ciri dominan profesionalisme normal;  sedangkan aspek-aspek yang berada di kolom kanan merupakan ciri umum yang lebih mengarah pada sumberdaya yang tersedia dan kebutuhan masyarakat yang relatif miskin umumnya di perdesaan.

Terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi, menimbulkan dan mendorong terjadinya bias profesionalisme normal terhadap orang miskin.  Beberapa di antaranya sangat jelas sebagai akibat dari status relatif yang ada di antara sesama profesional maupun antar disiplin ilmu.  Status dan penghargaan yang lebih tinggi terkait dengan kewenangan (kekuasaan) dan nilai material yang diberikan nampaknya berhubungan dengan ciri sebagai berikut :

§    lebih terkait ke sesuatu yang bersifat kebendaan daripada ke sesuatu yang berkaitan dengan kemanusiaan (atau sering sekali manusia diperhitungan sebagai benda),
§    mengutamakan laki-laki dan mengesampingkan perempuan,
§    dengan penilaian yang lebih kuantitatif daripada kualitatif,
§    lebih spesialisasi daripada kompetensi umum,
§    ketepatan perhitungan atas kebendaan (sesuatu) lebih diutamakan daripada partisipasi.

Hampir semua profesional normal memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut :

§    lebih menghargai data, pengukuran, perhitungan (kalkulasi),
§    pelaksanaan pekerjaan secara taat asas pada ketentuan-ketentuan analisis yang sudah dibakukan (cenderung ‘kaca-mata kuda’),
§    merencanakan cetak biru untuk pengendalian dan kepastian,
§    lebih tertarik ke perkotaan daripada ke perdesaan, dan
§    lebih meminati industri daripada pertanian.

Keterkaitan yang tinggi (erat), kecenderungan ini berarti rekayasa teknik lebih bergengsi dan berbobot daripada agronomi;  ekonomi lebih bergengsi dan berbobot daripada sosiologi, antropologi sosial dan berbagai pengetahuan humaniora lainnya.


C.     Profesi Dan Hubungannya Dengan Proses Awal Proyek

Tingginya status profesionalisme normal disebabkan karena profesi dan disiplin ilmu rekayasa teknik dan ekonomi yang sangat dominan pada proses awal evolusi kelembagaan dan proyek-proyek.  Terkait dengan itu, contoh paling nyata adalah apa yang terjadi pada Bank Dunia.  Semula organisasi ini bernama International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), yang mencerminkan misinya yang mengutamakan dan mendahulukan pembangunan fisik (konstruksi).  Hal itu ditunjukkan pada penempatan kata ‘reconstruction’ (bangunan fisik) lebih dahulu daripada kata ‘development’ (pembangunan).  Karena niatnya sudah sejak awal demikian maka perhatian terbesar bank ini pada mulanya sangat mengutamakan pada pembangunan infrastruktur dan industri.  Karena itu pula maka Bank Dunia pada awalnya sangat didominasi oleh tenaga-tenaga ahli teknik dan ekonomi sebagaimana badan-badan pemberi bantuan lainnya.

Sebagian besar proyek, betapapun kecilnya, bahkan sekalipun proyek itu adalah proyek pertanian;  selalu dimulai dari pengadaan perangkat keras dan kegiatan konstruksi (jalan, rumah, gudang, dam dan sebagainya);  yang tentu saja memerlukan survai, perencanaan, cetak biru (blue print), pengadaan, pembelian, penjadwalan dan konstruksi.  Semua itu berada di wilayah kekuasaan profesi ahli teknik.  Selain itu, proses awal proyek selalu diikuti oleh perkiraan finansial, penilaian ekonomis dan keabsahan statistik;  yang seluruhnya ada di wilayah para ahli ekonomi.  Aspek-aspek dan profesi yang berkaitan dengan manusia humaniora cenderung dilibatkan belakangan.

Pelibatan para profesional di bidang ilmu-ilmu sosial selalu saja dilakukan setelah para ahli teknik dan ekonomi memutuskan segala sesuatu.  Ahli-ahli sosial dan antropologi sosial dilibatkan ‘setengah hati’ dan dalam hubungan yang tidak serasi dengan pihak-pihak lainnya.  Profesi di bidang sosial dan humaniora cenderung dianggap sebagai pengganggu.  Kontribusinya sering dinilai negatif karena para profesional di bidang itu cenderung lebih mem-pertanyakan mengapa sesuatu tidak dilakukan atau harus dilakukan lebih pelan-pelan atau berhati-hati.

Para profesional di bidang sosial dan homaniora cenderung mengajukan keberatan-keberatan dan akibatnya cenderung dinilai menghambat proses pelaksanaan proyek.  Inilah yang menyebabkan mengapa para profesional yang merasa berstatus lebih tinggi, selalu beranggapan bahwa para profesional bidang sosial dan humaniora sebaiknya berdiam diri dahulu sampai waktunya tiba bagi mereka untuk mengambil peran.


D.     Tekanan birokrasi dan politik

Dinamika birokrasi dan politik juga cenderung memperbesar bias pada proses awal dan pelaksanaan berbagai proyek.  Aparat organisasi/badan-badan donor dan organisasi-organisasi penerima bantuan sama-sama dihadapkan pada tekanan yang secara luas dan sudah umum diketahui, yaitu :

1.      Sesegera mungkin menyelesaikan persyaratan administraitf proyek (portofolio proyek),
2.      Menghabiskan anggaran (terutama dana bantuan) sesuai dengan tenggat waktu (deadline),
3.      Keharusan menggunakan barang modal dari negara pemberi bantuan sebagai bagian dari proyek,
4.      Mengurangi jumlah staff (jika pemerintah donor melakukan pengetatan dana bantuan atau jika negara penerima melakukan penyesuaian birokrasi).

Bagi negara donor hal tersebut agak disukai, semakin besar proyek terpusat, lebih membuka peluang melibatkan lebih sedikit staf untuk menghabiskan lebih besar dana lebih cepat dan membelanjakan lebih banyak di negara donor itu sendiri.  Itulah sebabnya mengapa para profesional normal semakin dikerahkan dan semakin dihargai.  Peran para insinyur dan ahli ekonomi semakin menonjol, sementara peran para ahli sosial dan kemasyarakatan semakin terpinggir.

E.      Patologi (Penyakit) Proyek

Teori identifikasi dan proses awal (persiapan) proyek sangat bergantung pada sistematika dan prosedur yang kaku.  Sejumlah upaya memang telah dilakukan untuk memperbaiki, terutama unsur matematisnya.  Meskipun begitu, kenyataannya berbagai cacat utama masih terus terjadi.  Baik secara terpisah maupun kombinasi, berbagai cacat itu terus menghambat perjalanan manfaat proyek terutama yang menuju ke kelompok miskin.  Empat kelompok utama cacat itu di antaranya :

Ø  komitmen tak dapat balik (irreversibility of commitment),
Ø  metodology yang mengandung ‘bias anti si miskin’ (anti-poor bias in methodology),
Ø  terlalu mengagungkan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), dan
Ø  prosedur additif (prosedur tambahan).

1.      Komitmen tak dapat balik (irreversibility of commitment)
Komitmen untuk melaksanakan proyek-proyek berskala menengah dan besar yang didanai oleh badan-badan bantuan atau negara donor, sering kali sudah tidak dapat diubah sekalipun komitmen itu baru pada tahap yang sangat dini.  Apapun teorinya, kenyataan menunjukkan bahwa keputusan tentang suatu proyek relatif sudah tidak dapat diubah karena adanya anggapan bahwa mengubah komitmen politik kerjasama atau bantuan sebagai sesuatu yang memalukan.  Keputusan atas bantuan dan kerjasama, dapat saja sudah diambil jauh-jauh hari sebelum persiapan, studi dan analisis kelayakan dilakukan.  Bahkan sangat menarik mengamati gejala bahwa semakin besar nilai proyek yang disepakati, semakin dini komitmen tak dapat balik dapat terjadi.

Komitmen dalam hal ini sama sekali bukanlah persetujuan formal atau penandatanganan dokumen kerjasama, tetapi relatif baru berupa persetujuan lisan antara pejabat tinggi, yang secara politis sangat sulit diurungkan.  Komitmen tak dapat balik seperti itu acap kali berlawanan dengan laporan hasil studi kelayakan yang dilakukan kemudian.  Bahkan para konsultan pelaksana studi kelayakan cenderung bertendensi ‘melayak-layakkan’ usulan proyek, meskipun studi yang mereka lakukan sendiri menunjukkan hal yang sebaliknya.

Selain itu, proyek-proyek yang berkinerja buruk sangat jarang memberi manfaat bagi orang miskin.  Karena itulah mengapa ‘proyek-proyek besar yang dilayak-layakkan’ hampir selalu justeru menambah sengsara kelompok miskin.

2.      Metodologi yang bias ‘anti si miskin’
Dari semua bias yang ada pada profesionalisme normal, yang paling sedikit memperoleh sorotan dan pengamatan adalah tentang metodologi yang digunakan.  Pada proses identifikasi proyek, momentum paling penting biasanya berada pada tahap paling awal, tetapi secara metodologis justeru tahap inilah yang paling tidak lengkap, kurang diamati dan sangat sedikit disoroti.  Identifikasi suatu proyek sering lebih banyak berfungsi sebagai ‘kotak hitam’, sebagai analisis pembenar atau pemaaf jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.  Hasil analisis ‘kotak hitam’ inipun cenderung lebih mudah dilakukan dan sering dipengaruhi oleh berbagai pihak yang mempunyai berbagai kepentingan tertentu.  Lebih tegasnya, jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada suatu proyek;  maka analisis ‘kotak hitam’ cenderung untuk lebih sekedar mencari-cari ‘kambing hitam’.

3.      Analisis biaya-manfaat di negara donor
Sesungguhnya secara teoritis, berbagai bias pada proses awal proyek masih dapat ditanggulangi dengan analisis biaya/manfaat (Cost/Benefit Analysis).  Dan memang dalam memilih berbagai alternatif komponen proyek, analisis biaya/manfaat sangat berguna.  Analisis kepekaan sangat ber-manfaat dan membantu dalam proses pengambilan keputusan.  Analisis ekonomis dapat digunakan secara efektif untuk  meminimasi berbagai kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh suatu proyek.  Berbagai analisis itu juga dapat sangat berguna untuk mencegah diputuskannya pelaksanaan proyek yang buruk, jika semuanya dapat dideteksi secara dini.  Tetapi, analisis biaya/manfaat inipun mempunyai banyak kelemahan.  Sebagian dari kelemahan itu disebabkan karena adanya kecenderungan ‘godaan’ menggunakan variable tunggal dalam analisis.  Sebagian lagi disebabkan oleh kekeliruan dalam menetapkan ‘nilai yang akan datang’ (future value) terhadap berbagai variable yang seharusnya perlu diperhitungan, baik itu pada Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) maupun pada Internal Rate of Return (IRR).

Kesulitan dan kecenderungan kekeliruan akan terjadi terutama jika yang menjadi variable penting dari suatu proyek adalah misalnya nilai hidup dan kehidupan manusia di masa yang akan datang.  Apakah masyarakat di dalam dan di sekitar proyek akan menjadi lebih miskin..?  Apakah setelah proyek beroperasi, kesehatan manusia semakin baik atau sebaliknya .?  Kesulitan menghitung faktor yang dalam ilmu ekonomi disebut ‘dummy variables’ (variabel goblok) itu, cenderung menggoda para analis untuk mengambil jalan pintas dengan memberinya ‘nilai akan datang’ (future value) terlalu kecil atau bahkan tidak memperhitungkannya.

4.      Prosedur additif (tambahan) sekedar ‘bumbu/kosmetik’
Menanggapi berbagai kekurangan, telah dilakukan penataan ulang dan penambahan berbagai proses penting ke dalam prosedur proses awal proyek. Upaya ini mulanya diprakarsai oleh USAID.  Analisis aspek sosial mulai dipersyaratkan USAID untuk mengidentifikasi kelompok mana di dalam suatu masyarakat yang perlu lebih diperhatikan pada saat perancangan proyek, baik sebagai penerima manfaat proyek maupun sebagai penerima dampak proyek yang direncanakan.  Tetapi kesadaran tambahan tersebut menuntut kerja keras staf pelaksana proyek di badan-badan donor itu sendiri danperlunya pengembangan metoda baru dalam proses penyiapan proyek.

Meskipun perhatian tambahan tersebut sudah diteliti dengan baik, di-laporkan secara tepat;  sering sekali akhirnya hanya menjadi tambahan tumpukan arsip di lemari para pengambil keputusan.  Akhirnya prosedur tambahan tersebut hanyalah jalan pintas untuk meramu ‘kosmetik baru’ bagi suatu proses persiapan proyek.


F.      Hasil-hasil Yang Diperoleh (Akibat) Dari Perencanaan Tidak Partisipatif

Secara umum hasil-hasil yang diperoleh dari pola perencanaan dan pe-laksanaan pembangunan sebagaimana dijelaskan di muka sudah banyak dilaporkan.  Begitu banyak kelemahan yang telah teridentifikasi, tetapi dalam konteks ini akan disebutkan beberapa sebagai berikut :

§    Kurangnya rasa kepemilikan masyarakat secara umum dan komunitas secara khusus atas hasil-hasil proyek,
§    Kurangnya kemauan dan tingkat pemeliharaan atas hasil-hasil proyek,
§    Meningkatnya ketergantungan masyarakat secara umum dan komunitas secara khusus atas pelayanan pembangunan dari pemerintah, dan bahkan secara nasional meningkatnya ketergantungan negara-negara yang sedang membangun kepada sumberdaya dari luar negeri.

G.        Proyek Besar :  Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Keempat kelemahan proses awal proyek yang telah disebutkan, yaitu :  komitmen tak dapat balik, pendewaan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), ‘bias anti si miskin’ dan prosedur additif akan muncul dalam intensitas berbeda, tergantung pada pertanyaan strategis, seberapa besar skala proyek.  Kebanyakan proyek besar hanya diputuskan karena gengsi, patronisme, ambisi pribadi pejabat tinggi tertentu, motivasi korupsi dan kebutuhan untuk menghabiskan anggaran.  Mengamati berbagai proyek besar, memang harus diakui bahwa tidaklah semuanya selalu buruk tetapi umumnya proyek-proyek besar selalu lebih jelek daripada yang seharusnya.

Belakangan ini ada kebutuhan untuk mempertanyakan proyek-proyek besar dan berusaha mencari alternatif memperbaikinya.  Pertanyaan kritis khususnya yang berkaitan dengan pembangunan dam dan jalan tol, menyangkut hak-hak dan kesejahteraan masyarakat yang selalu saja tergusur oleh adanya proyek-proyek itu.  Pertanyaan terbesar adalah bagaimanakah badan-badan donor, pemerintah di negara penerima bantuan, para staf proyek dan politikus dapat belajar mencegah pelaksanaan suatu proyek besar yang berkinerja buruk..?.  Empat hal sementara ini dapat disarankan untuk mengatasi hal tersebut, yaitu :

1.      Mengidentifikasi jumlah masyarakat yang cenderung akan merugi akibat adanya proyek dan memberi bobot yang tinggi pada aspek kesejahteraan mereka dalam proses awal proyek,
2.      Mencari jalan memecah satu proyek besar menjadi beberapa bagian lebih kecil tanpa kehilangan integrasinya.  Misalnya, lebih baik beberapa bendung gerak di satu sungai daripada satu bendungan besar pada sungai yang sama,
3.      Menghindari komitmen yang terlalu dini dengan tetap tampil bersahaja (low profile), lebih memperhatikan risiko politis dan biaya, menghindari pertemuan negosiasi antara para pejabat tingkat tinggi yang terlalu dini,
4.      Memilih konsultan yang obyektif, yang mampu memberikan rekomendasi yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.


H.     Paradigma Baru dan Profesionalisme Baru Dalam Pelaksanaan (Khusunya Dalam Perancangan) Pembangunan

Pencegahan proyek-proyek besar yang berkinerja dan berdampak buruk dapat dilakukan dengan mempromosikan proyek-proyek kecil yang berkinerja dan berdampak baik.  Badan-badan donor belakangan ini lebih mendukung proyek-proyek kecil yang diidentifikasi dan dilaksanakan oleh LSM.  Perhatian sudah semakin diarahkan kepada manusia, kelompok anak-anak dan kelompok perempuan atau kelompok miskin.

Para profesional di bidang sosial dan antropologi sudah semakin banyak dilibatkan dalam berbagai proyek.  Hal ini menandakan adanya kebutuhan baru yaitu paradigma baru dan profesionalisme baru dalam pelaksanaan pembangunan.  Beberapa aspek kunci pada paradigma baru ini adalah :

1.      Lebih menaruh perhatian pada manusia daripada kebendaan,
2.      Desentralisasi,
3.      Memampukan dan menguatkan kelompok yang lebih miskin dan yang lebih lemah,
4.      Memberi nilai lebih tinggi dan lebih banyak bekerja pada apa yang sedang dihadapi kelompok miskin dan lemah,
5.      Belajar dari kelompok penerima manfaat proyek daripada mengajari mereka,
6.      Mengutamakan proses belajar penerima manfaat proyek daripada menjejalkan (memaksakan) cetak-biru proyek.

Paradigma baru ini memang mangandung hal-hal yang cenderung digunakan oleh para perencana sebagai upaya untuk menghindar dari tanggungjawab dengan menempatkan alasan pada kesulitan dalam mengukur hasil.  Suatu proyek kecil tak terpusat kurang dapat dilihat (kurang nyata) jika dibanding dengan satu proyek infrastruktur yang besar dan terpusat.  Pembangunan sosial lebih sulit dilihat hasilnya daripada pembangunan fisik.  Perubahan evolusioner lebih sulit dirasakan daripada perubahan revolusioner.
I.          Implikasi Praktis

Untuk melakukan proses belajar pada proyek sebesar apapun beberapa prasyarat dan implikasi berikut perlu diperhatikan :

1.      Keberlanjutan ketersediaan staf lapangan yang berkemampuan dan bertekad kuat untuk mendampingi masyarakat
Prioritas utama adalah mendorong ketersediaan staf lapangan yang cakap dan bertekad kuat mendampingi masyarakat.  Sedapat mungkin staf tersebut bersedia tinggal dan bekerja bersama masyarakat.  Mereka harus mampu dan mau belajar dari masyarakat, memahami proses pelibatan, penguatan dan pengembangan kelembagaan masyarakat.

2.      Kekangan dana/anggaran
Dana yang terlalu besar, atau penyalurannya yang terlalu dini, atau penggunaannya yang sangat dibatasi waktu cenderung memaksa para staf lapangan untuk menjejalkan cetak biru proyek kepada masyarakat.  Dana yang harus dihabiskan dan dilaporkan penggunaannya dalam waktu sempit sebelum akhir Tahun Anggaran cenderung dibelanjakan untuk pembelian barang, misalnya semen;  yang tentu akan lebih menunjuk pada kebendaan daripada proses-proses manusiawi yang seharusnya ditempuh terlebih dahulu.  Dana besar lebih cenderung mengarah ke penggunaan untuk bangunan fisik atau mesin tertentu daripada keswakarsaan dan keswadayaan masyarakat.  Bahkan kepercayaan yang terlalu besar kepada LSM tertentu cenderung membuat mereka mendorong partisipasi masyarakat secara ‘karbitan’ dan mencapai hasil proyek secara cepat dan karitatif.  Ini menghambat proses belajar pihak-pihak yang seharusnya berpartisipasi dan berkepentingan atas proyek, karena kelompok masyarakat miskin cenderung memilih sesuatu yang tidak disukai asalkan mereka dibayar dan memperoleh makan dari pekerjaan itu.  Karenanya anggaran yang terlalu besar sering menjadi hambatan proses belajar pihak-pihak yang seharusnya berpartisipasi dalam proyek.

3.      Penilaian cepat (rapid rural appraisal/partisipatory appraisal)
Pemantauan, belajar, mengandaptasi dan penilaian berlanjut terhadap suatu proyek memerlukan waktu dan metoda pembiayaan yang efektif.  Penilaian Perdesaan Secara Cepat dan Partisipatif (Rapid Rural Appraisal/RRA) atau (Participatory Rural Appraisal/PRA) sudah semakin banyak digunakan pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian proyek terutama di perdesaan.  Konferensi tentang metoda ini yang dilaksanakan pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa metoda ini bukanlah suatu metoda yang sekedar dapat digolongkan sebagai ‘metoda terbaik kedua’.  Tetapi bahkan jika digunakan secara tepat, metoda ini sering merupakan metoda paling unggul.

Diterimanya metoda RRA/PRA sebagai suatu pendekatan lebih luas telah mengundang kritik dari profesional normal yang ‘kolot’, tetapi dari berbagai pengalaman, pendekatan ini telah menunjukkan keunggulannya terutama pada proses indentifikasi proyek, memampukan masyarakat meng-identifikasi masalah, merancang proyek dengan prioritas yang lebih sesuai dengan kebutuhan;  terbukti telah mendorong berbagai proyek pembangunan lebih efektif dan efisien.

4.      Proyek belajar
Ketidakpuasan terhadap dominasi pendekatan proyek dalam pem-bangunan telah mengundang minat untuk meneliti pengembangan metoda dan pendekatan alternatif.  Satu kelompok kerja di Universitas Cornell, Ithaca (New York) telah merumuskan kelompok-kelompok proyek alternatif yang disebut sebagai ‘para project’ di antaranya sebagai berikut :

1.      Proyek mini pengembangan kapasitas lokal,
2.      Pengembangan teknologi tepat bagi suatu kelompok,
3.      Perbaikan metoda perencanaan dan manajemen,
4.      Proyek sistem mikro tabungan-kredit,
5.      Pengembangan difusi horisontal,
6.      Reorientasi birokrasi,
7.      Program riset dan aksi.

Tiga ciri umum proyek seperti tersebut di atas adalah, meskipun dana adalah sumberdaya yang paling sering berasal dari luar, proyek-proyek tersebut lebih cenderung bersifat :

·         lebih padat karya daripada padat modal,
·         lebih mempertimbangkan penggunaan sumberdaya dan kapasitas manajemen lokal, dan
·         relatif mengarah ke perubahan kualitatif dengan sejumlah besar kegiatan dengan masing-masing sasarannya.

Tidak semua ‘para project’ sebagaimana disebut di atas tidak cocok digabungkan dengan proyek-proyek besar yang umum, bahkan sebagian besar mampu menunjukkan dan memunculkan proses pengembangan gagasan penting, penguatan kelembagaan dan mendorong proses belajar yang setidaknya pada tahap awal proyek sangat tidak mungkin dicetak biru.  Tipe ideal suatu proyek belajar adalah :

·         dana tersedia tetapi tidak ditetapkan jumlahnya secara kaku,
·         tidak menekankan agar para staf proyek segera menggunakan atau menghabiskan sejumlah besar anggaran dalam tenggat waktu (deadline) yang relatif sempit,
·         tidak menekankan pada target kaku untuk mencapai satu produk fisik tertentu,
·         tidak semata-mata menekankan pada salah satu, baik perubahan yang kasat mata maupun yang tidak.

Hal penting pada proyek belajar adalah penempatan staf lapangan yang baik dalam periode waktu yang relatif lebih panjang, bahkan sering perlu beberapa tahun, untuk menggali dan belajar dari/bersama masyarakat lokal dan mencoba melihat bagaimana cara terbaik bagi masyarakat itu untuk memenuhi kebutuhan mereka dari proyek yang sedang direncanakan.  Dapat saja diperlukan beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun sebelum sejumlah dana tertentu perlu disalurkan dan dibelanjakan jikapun memang pada akhirnya dana itu benar-benar diperlukan.


 * Materi Participatory Basic Training CSR for Community Development oleh CFCD


[     ]